Kaidah 1 : Islam membolehkan diskusi antara suami dan istri
Islam tidak melarang adanya diskusi dan musyawarah antara suami dan istri. Allah ta’ala berfirman:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar perbincangan di antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Al Mujadalah: 1).
Perkataan “Allah mendengar perbincangan di antara kamu berdua” menunjukkan adanya diskusi antara suami istri dan Allah ta’ala tidak mencelanya. Allah ta’ala juga berfirman:
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan musyawarah di antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah: 233).
Perkataan “Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan musyawarah di antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya” jelas menunjukkan bolehnya diskusi dan musyawarah antara suami istri.
Sebagaimana juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berdiskusi dengan Aisyah radhiallahu’anha. Dalam hadits dari Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن نُوقِشَ الحِسابَ عُذِّبَ قالَتْ: قُلتُ: أليسَ يقولُ اللَّهُ تَعالَى: {فَسَوْفَ يُحاسَبُ حِسابًا يَسِيرًا} [الانشقاق: 8] قالَ: ذَلِكِ العَرْضُ.
“Barangsiapa yang ditanya oleh Allah ketika dihisab di akhirat, ia akan diadzab”. Aisyah bertanya: “Bukankah Allah ta’ala berfirman (yang artinya) “Maka mereka akan dihisab dengan hisab yang ringan” (QS. Al Insyiqaq: 8) ? Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Yang dimaksud ayat ini adalah al-ardhu”” (HR. Al Bukhari no.6536, Muslim no.2876).
Adapun hadits:
شاورُوهنَّ وخالفوهنَّ
“Bermusyawarahkan dengan istri kalian, lalu langgarlah pendapat mereka!”.
Ulama sepakat bahwa ini adalah hadits yang palsu. As Suyuthi rahimahullah mengatakan: “Hadits ini batil tidak ada asalnya” (Al Durr Al Muntatsirah, no.85).
Kaidah 2 : Membuka ruang diskusi adalah akhlak mulia
Suami atau istri yang membuka ruang diskusi dengan pasangannya adalah suami atau istri yang berakhlak mulia. Karena musyawarah atau diskusi dalam perkara yang memang layak didiskusikan, adalah akhlak mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan perkara mereka (orang-orang beriman), dimusyawarahkan di antara mereka” (QS. Asy-Syura: 38).
Allah ta’ala juga berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran : 159).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun terbuka dengan istri-istrinya, beliau mengungkapkan masalah beliau dan mendiskusikannya dengan istri beliau.
Misalnya ketika beliau mendapatkan wahyu pertama dan merasa ketakutan. Disebutkan dalam hadits Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha:
فرجَع بها ترجُفُ بوادرُه حتَّى دخَل على خديجةَ فقال: زمِّلوني زمِّلوني فزمَّلوه حتَّى ذهَب عنه الرَّوعُ ثمَّ قال: يا خديجةُ ما لي ؟ وأخبَرها الخبرَ وقال: قد خشيتُه علَيَّ فقالت: كلَّا أبشِرْ فواللهِ لا يُخزيك اللهُ أبدًا إنَّك لَتصِلُ الرَّحمَ وتصدُقُ الحديثَ وتحمِلُ الكَلَّ وتَقري الضَّيفَ وتُعينُ على نوائبِ الحقِّ ثمَّ انطلَقَت به خديجةُ حتَّى أتَتْ به ورقةَ بنَ نوفلٍ وكان أخا أبيها وكان امرأً تنصَّر في الجاهليَّةِ وكان يكتُبُ الكتابَ العربيَّ فيكتُبُ بالعربيَّةِ مِن الإنجيلِ ما شاء أنْ يكتُبَ وكان شيخًا كبيرًا قد عمِيَ
“Beliaupun pulang dalam kondisi gemetar dan bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah. Kemudian Nabi berkata kepadanya: Selimuti aku, selimuti aku. Maka Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kemudian Nabi bertanya: ‘wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?’. Lalu Nabi menceritakan kejadian yang beliau alami kemudian mengatakan, ‘aku amat khawatir terhadap diriku’. Maka Khadijah mengatakan, ‘sekali-kali janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, pemikul beban orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran. Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah. Waraqah telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al Kitab dalam bahasa Arab. Maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa yang dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah lanjut dan matanya telah buta.” (HR. Al Bukhari no. 6982).
Demikian juga dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Ketika para sahabat merasa berat untuk menyetujui perjanjian Hudaibiyah dan engga mengikuti perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau pun berdiskusi dengan Ummu Salamah radhiallahu’anha,
فَقالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يا نَبِيَّ اللَّهِ، أتُحِبُّ ذلكَ؟ اخْرُجْ ثُمَّ لا تُكَلِّمْ أحَدًا منهمْ كَلِمَةً، حتَّى تَنْحَرَ بُدْنَكَ، وتَدْعُوَ حَالِقَكَ فَيَحْلِقَكَ، فَخَرَجَ فَلَمْ يُكَلِّمْ أحَدًا منهمْ حتَّى فَعَلَ ذلكَ؛ نَحَرَ بُدْنَهُ، ودَعَا حَالِقَهُ فَحَلَقَهُ، فَلَمَّا رَأَوْا ذلكَ قَامُوا، فَنَحَرُوا
“Ummu Salamah berkata: Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perjanjian ini? Kalau begitu maka keluarlah dan jangan berkata-kata satu kalimat pun, hingga engkau sembelih untamu dan engkau cukur rambutmu”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengikuti saran istrinya, beliau keluar dan tidak bicara satu patah kata pun sampai menyembelih untanya dan mencukur rambutnya. Ketika para sahabat melihat hal itu, mereka pun mengikuti apa yang Nabi lakukan” (HR. Al Bukhari no. 2731).
Kaidah 3 : Semua masalah, kembalikan kepada dalil
Dalam berdiskusi antara suami dan istri, mereka semua wajib mengembalikan setiap masalah kepada dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).
Karena solusi untuk menggapai kemenangan dan kebahagiaan adalah kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا تبًايعتم بًالعينة وأخذتم أذناب البقر ، ورضيتم بًالزرع ، وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم
“Jika kalian berjual beli dengan sistem inah (riba), dan kalian berpegang pada ekor-ekor sapi, dan kalian ridha para pertanian, sehingga kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kehinaan pada diri kalian, hingga kalian kembali pada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 11).
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بُعثتُ بين يديْ الساعةِ بالسيفِ حتى يُعبدَ اللهُ وحدَه لا شريكً له وجعلَ رِزقي تحتَ ظلِ رُمْحي وجعلَ الذلةَ والصغارَ على من خالفَ أمري ومن تشبه بقومٍ فهو منهمْ
“Aku diutus mendekati hari Kiamat untuk menghunus pedang (berjihad) hingga manusia menyembah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan Allah dengan apapun. Dan dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku (yaitu ghanimah). Dan dijadikan kehinaan dan kekerdilan (pada manusia) karena menyelisihi perintahku. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Ahmad [7/122], dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad).
Ketika seorang Mukmin enggan mengembalikan masalah kepada dalil, maka tidak sempurna imannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al Ahzab: 36).
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51),
Dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا يؤمنُ أحدُكم حتَّى يكونَ هواه تبعًا لما جئتُ به
“Tidak beriman seseorang sampai hawa nafsunya ia tundukkan demi mengikuti apa yang aku bawa” (HR. Ibnu Abi Ashim 15, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, dishahihkan oleh An Nawawi, Adz Dzahabi, Ahmad Syakir. Didhaifkan oleh Ibnu Rajab, Al Albani. Dan ini pendapat yang rajih, namun maknanya shahih).
Kaidah 4 : Suami adalah pemimpin, maka ia adalah pembuat keputusan
Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, maka ia adalah decision maker (pembuat keputusan) dalam diskusi antara suami-istri. Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)
Dan sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani).
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لو كان يَنْبَغي لأحدٍ أنْ يَسجُدَ لأحدٍ، لأمَرْتُ المرأةُ أنْ تَسجُدَ لزَوجِها
“Andaikan dibolehkan bagi seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya” (HR. At Tirmidzi no.1159, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no.3490).
Dalam hadits lain, ketika ada shahabiyah mengeluhkan suaminya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
انظُري أينَ أنت منهُ فإنَّهُ جنَّتُكِ أو نارُكِ
“Hendaknya engkau perhatikan bagaimana perlakuanmu terhadap suamimu. Karena ia adalah surgamu dan nerakamu” (HR. Al Hakim no.2769, Al Baihaqi no.15103, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘).
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
قوله تعالى: ( فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ) يقتضي وجوب طاعتها لزوجها مطلقا: من خدمة، وسفر معه، وتمكين له، وغير ذلك، كما دلت عليه سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم …كما تجب طاعة الأبوين؛ فإن كل طاعة كانت للوالدين انتقلت إلى الزوج
“Firman Allah ta’ala: “Wanita shalihat adalah yang taat dan menjaga harta suaminya ketika suaminya tidak ada, dengan aturan Allah”. Ayat ini memberikan konsekuensi wajibnya menaati suami secara mutlak. Taat dalam pelayanan, dalam safar, dalam membantu suami dan perkara lain. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam … taat kepada suami sebagaimana wajibnyataat kepada kedua orang tuanya. Dan semua bentuk ketaatan kepada orang tuanya, berpindah kepada suaminya (setelah menikah)” (Majmu Al Fatawa, 32/260-261).
Namun ketaatan kepada suami tidak boleh dalam perkara maksiat dan perkara yang membahayakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq” (HR. Ahmad, shahih).
Kaidah 5 : Wajib taat kepada suami jika suami sudah memutuskan
Dalam diskusi antara suami-istri, baik diskusi berjalan baik atau tidak, ketika suami sudah memutuskan suatu perkara, maka istri wajib menaatinya. Jika diskusi berjalan baik dan semua argumen dipertimbangkan dengan baik, maka itu yang kita harapkan. Namun andaikan diskusi tidak berjalan dengan baik, dan suami tetap bersikukuh dengan keputusannya, ketika itu istri wajib menaatinya.
Perhatikan Nabi Musa ‘alaihissalam ketika memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dalam kegelapan malam, namun mereka tetap menaatinya. Allah ta’ala berfirman:
إِذْ رَأَىٰ نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّي آتِيكُم مِّنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى
“Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu” (QS. Thaha : 10).
Demikian juga, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat tersebut dan ingin kembali ke Syam. Ketika Hajar melihat Nabi Ibrahim pulang, maka Hajar segera mengejarnya dan memegang bajunya sambil berkata, “Wahai Ibrahim, kamu mau pergi kemana? Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apa pun ini?” Hajar terus saja mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi kepadanya. Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semua ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar berkata,
إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُنَا
“Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”
(HR. Al Bukhari).
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata, sebagaimana dinukil oleh Allah ta’ala:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37).
Ketaatan kepada suami terhadap apa yang diputuskan suami, walaupun berat bagi istri, namun akan memberikan maslahat yang lebih besar untuk rumah tangga dan membawa kepada akibat yang baik,
Kaidah 6 : Tugas istri adalah memberi nasehat
Dalam diskusi suami-istri, tugas istri dalam memberi masukan, saran dan nasehat kepada suami. Tidak boleh istri seolah memerintah suami atau memaksa suaminya. Karena suami adalah pemimpin baginya.
Ketika istri memberi nasehat kepada suami, ia akan mendapatkan pahala walaupun nasehat tidak diterima. Karena memberi nasehat adalah ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, no.49).
Dan pemberi nasehat tidak boleh memaksa agar nasehatnya diterima. Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah mengatakan:
وَلَا تنصح على شَرط الْقبُول مِنْك فَإِن تعديت هَذِه الْوُجُوه فَأَنت ظَالِم لَا نَاصح وطالب طَاعَة وَملك لَا مؤدي حق أَمَانَة وأخوة وَلَيْسَ هَذَا حكم الْعقل وَلَا حكم الصداقة لَكِن حكم الْأَمِير مَعَ رَعيته وَالسَّيِّد مَعَ عبيده
“Jangan engkau menasehati orang dengan mempersyaratkan harus diterima nasehat tersebut darimu, jika engkau melakukan perbuatan berlebihan yang demikian, maka engkau adalah ORANG YANG ZHALIM bukan orang yang menasehati. Engkau juga orang yang menuntut ketaatan bak seorang raja, bukan orang yang ingin menunaikan amanah kebenaran dan persaudaraan. Yang demikian juga bukanlah perlakuan orang berakal dan bukan perilaku kedermawanan, namun bagaikan perlakuan penguasa kepada rakyatnya atau majikan kepada budaknya” (Al Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, 45).
Maka yang benar, sampaikan nasehat. Jika diterima, itu yang diharapkan. Jika tidak diterima maka tidak mengapa. Perhatikan nasehat Imam Malik berikut,
الهيثم بن جميل: قلت لمالك ابن انس: الرجل يكون عالما بالسنة أيجادل عنها؟ قال: لا .. ولكن يُخبِر بالسنة فإن قُبِلتْ منه وإلا سكت
Al Haitsam bin Jamil mengatakan, saya pernah berkata kepada Imam Malik bin Anas: “seseorang yang alim (berilmu) terhadap sunnah Nabi, apakah boleh ia berdebat tentang As Sunnah?”. Imam Malik menjawab: “Jangan! Namun sampaikanlah tentang As Sunnah. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, ya sudah diam saja” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/94).
Dan istri wajib bersabar ketika nasehat tidak diterima oleh suami. Allah ta’ala ceritakan petuah Luqmanul Hakim:
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
“dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar. dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu” (QS. Luqman: 17).
Kaidah 7 : Masalah dunia, longgarkan saja
Jika yang didiskusikan adalah masalah duniawi, maka berlonggar-longgar saja. Tidak perlu terlalu keras dan ketat dalam urusan duniawi. Jika suami atau istri tidak setuju dengan pendapat anda dalam urusan duniawi, longgarkan saja dan beri ruang toleransi yang luas.
Karena urusan duniawi itu fana tidak abadi. Allah ta’ala berfirman,
مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang ada pada kalian akan sirna. Dan apa yang ada di sisi Allah akan abadi” (QS. An-Nahl: 96).
Demikian juga, berlonggar-longgar dalam urusan duniawi adalah bentuk samahah (sikap memudahkan orang lain. Dari Ma’qal bin Yasar radhiallahu’anhu secara marfu dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
أفضل الإيمان الصبر والسماحة
“Sebaik-baik iman adalah sabar dan as samahah” (HR. Ad Dailami [1/1/128], Abdullah bin Ahmad dalam Az Zuhd [10], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [1495]).
Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan:
(الإيمان الصبر) على الطاعات فعلًا وعن المعاصي تركًا (والسماحة) بالحقوق وبما يحبه الشارع
“[Sebaik-baik iman adalah sabar] dalam melaksanakan ketaatan dan meninggalkan maksiat. [dan samahah] yaitu mudah dalam menunaikan hak-hak dan melaksanakan hal yang dicintai oleh syariat” (At Tanwir Syarah Jami’ish Shaghir, 4/512).
Dunia itu remeh, jangan jadikan bahan perselisihan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدنيا تَعْدِلُ عندَ اللهِ جَناحَ بَعُوضَةٍ ، ما سَقَى كافرًا مِنْها شَرْبَةَ ماءٍ
“Andai nikmat dunia itu setara dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya orang kafir tidak akan diberikan nikmat dunia sekadar air minum walaupun hanya seteguk” (HR. Tirmidzi no.3240, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kaidah 8 : Gunakan kata-kata yang baik
Suami-istri wajib menggunakan kata-kata yang baik ketika berdiskusi. Tidak boleh ada caci maki, kata kotor, perendahan dan ejekan. Allah berfirman:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44).
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليسَ المؤمنُ بالطَّعَّانِ ولا اللَّعَّانِ ولا الفاحِشِ ولا البذَيُّ
“Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka bicara kotor dan suka bicara jorok” (HR. Tirmidzi no.1977, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.320).
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ
“Sesungguhnya seorang hamba ketika berbicara dengan perkataan yang dianggap biasa, namun akan menyebabkan ia masuk neraka 70 tahun” (HR. Tirmidzi no. 2314, dishahihkan oleh Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kaidah 9 : Hentikan diskusi ketika mulai memanas
Jika diskusi sudah mulai memanas, maka masing-masing berusaha untuk hentikan jalannya diskusi. Diskusi bisa dilanjutkan jika suasana sudah kembali tenang. Karena amarah akan menutup akal sehat seseorang.
Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam perintahkan kita untuk diam ketika marah. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika salah seorang di antara kalian marah, maka diamlah” (HR. Ahmad no.2136. Dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).
Dan seorang istri hendaknya berusaha tidak membuat suami marah. Istri hendaknya berhenti berargumen sekiranya dapat membuat suami marah. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai no.3231. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Jika seorang istri menyakiti suaminya di dunia, maka calon istrinya di akhirat dari kalangan bidadari akan berkata: ‘Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu sebab ia hanya sementara berkumpul denganmu. Sebentar lagi ia akan berpisah dan akan kembali kepada kami.’” (HR. Tirmidzi, no. 1174 dan Ibnu Majah, no. 2014. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.173).
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam Hilyatul-Auliya (no. 7024),
قَالَتِ امْرَأَةُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ : مَا كُنَّا نُكَلِّمُ أَزْوَاجَنَا إِلا كَمَا تُكَلِّمُوا أُمَرَاءَكُمْ : أَصْلَحَكَ اللَّهُ ، عَافَاكَ اللَّهُ
“Istri Sa’id bin Musayyab (seorang tabi’in) mengatakan : “Dahulu kami berbicara dengan suami-suami kami sebagaimana kalian bicara kepada para pemimpin kalian, semoga Allah perbaiki urusanmu”.
Dan sebisa mungkin perselisihan antara suami-istri tidak dibawa tidur. Artinya, selesaikan dengan saling memaafkan sebelum waktu tidur tiba. Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ فِي الْجَنَّةِ؟قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْلَ الله كُلُّ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ، إِذَا غَضِبَتْ أَوْ أُسِيْءَ إِلَيْهَا أَوْ غَضِبَ زَوْجُهَا، قَالَتْ: هَذِهِ يَدِيْ فِي يَدِكَ، لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حَتَّى تَرْضَى
“Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullaah!” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: “Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghir. Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, hadits no. 3380).
Kaidah 10 : Jangan bermudahan ucapkan cerai
Karena bermudah-mudah untuk cerai atau bermudah-mudah mengompori orang lain untuk cerai, ini adalah ajakan setan. Bahkan prestasi setan yang paling dibanggakan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ على الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ منه مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فيقول: ما صَنَعْتَ شيئا، قال ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: ما تَرَكْتُهُ حتى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قال: فَيُدْنِيهِ منه، وَيَقُولُ: نِعْمَ أنت فَيلتَزمُهُ
“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air. Kemudian ia mengutus para tentaranya. Tentara iblis yang paling bawah adalah yang paling besar fitnah (kerusakan) nya. Salah satu tentara iblis berkata: saya telah melakukan ini dan itu. Maka iblis mengatakan: kamu belum melakukan apa-apa. Kemudian tentara iblis yang lain datang dan berkata: Aku tidak meninggalkan seseorang kecuali setelah ia berpisah dengan istrinya. Maka tentara iblis ini pun didekatkan kepada iblis. Lalu iblis berkata: kamulah yang terbaik, teruslah lakukan itu” (HR. Muslim no. 2813).
Maka orang yang mudah berpikir untuk cerai ketika melihat kekurangan pasangan, ia termakan bisikan setan.
Dan kaidah fikih mengatakan:
الاستدامة أقوى من الإبتداء
“Mempertahankan yang sudah ada lebih utama daripada memulai yang baru”.
Pasangan yang ada sekarang, pertahankanlah. Yang kurang, diperbaiki dan dinasehati. Itu lebih baik daripada bermudahan mencari pasangan yang baru. Hendaknya selesaikan masalah dengan tanpa harus terpikir solusi berpisah dengan pasangan.
Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik.






Leave a comment