Riwayat dari para salaf tentang sikap terhadap ahlul bid’ah, banyak disebutkan dalam kitab Al Ibanah min Ushulid Diyanah karya Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah:
وسمعت عبد الرحمن بن مهدي وذكر الصوفية فقال: لا تجالسوهم، ولا أصحاب الكلام، عليكم بأصحاب القماطر
“Aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi ketika disebutkan tentang Shufiyah, beliau berkata: Jangan duduk bersama mereka! Jangan duduk bersama ahlul kalam! Hendaknya kalian duduk bersama ash-habul qamathir (yaitu ahlul hadits)”.
وعن ابن سيرين: أنه كان إذا سمع كلمة من صاحب بدعة وضع أصبعيه في أذنيه، ثم قال: لا يحل لي أن أكلمه، حتى يقوم من مجلسه
“Dari Ibnu Sirin: ketika beliau mendengar satu kalimat dari ahlul bid’ah, beliau memasukkan jarinya ke telinganya kemudian berkata: “Tidak halal bagiku untuk berkata-kata kepadanya”, (ia terus demikian) sampai ia keluar dari majelis tersebut”.
وعن صالح المري قال: دخل على ابن سيرين فلان -يعني: رجلاً مبتدعاً- وأنا شاهد، ففتح باباً من أبواب القدر فتكلم فيه -أي: هذا المبتدع-، فقال له ابن سيرين: أحب لك أن تقوم وإما أن نقوم
“Dari Shalih bin Al Murri, ia berkata: Ada seorang ahlul bid’ah mendatangi Ibnu Sirin, dan ketika itu saya melihat kejadian itu. Ahlul bid’ah ini punya penyimpangan dalam masalah takdir. Kemudian si ahlul bid’ah ini bicara kepada Ibnu Sirin. Lalu Ibnu Sirin berkata: Silakan anda yang pergi, jika tidak maka saya yang akan pergi”.
وقال ابن عون: من يجالس أهل البدع أشد علينا من أهل البدع
“Ibnu ‘Aun berkata: Siapa yang duduk bersama ahlul bid’ah, maka menurut saya ia lebih parah daripada ahlul bid’ah”.
وعن يحيى بن أبي كثير قال: إذا لقيت صاحب بدعة قد أخذ في طريق فخذ في طريق آخر
“Dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata: Jika engkau bertemu dengan ahlul bid’ah di jalan, maka ambillah jalan yang lain!”.
وعن إسحاق بن إبراهيم بن هانئ قال: سألت أبا عبد الله عن رجل مبتدع داعية يدعو إلى بدعته: يجالس؟ قال: لا يجالس، ولا يكلم؛ لعله يتوب
“Dari Ishaq bin Ibrahim bin Hani’, ia berkata: aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang seorang lelaki ahlul bid’ah yang mendakwahkan kebid’ahannya, apakah boleh bermajelis dengannya?. Imam Ahmad menjawab: tidak boleh bermajelis, tidak boleh berbicara dengannya, semoga ia mau bertaubat”.
وقال الإمام أحمد بن حنبل: أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم، ولا يخالطهم، ولا يأنس بهم
“Al Imam Ahmad bin Hambal berkata: ahlul bid’ah itu tidak semestinya ada orang yang duduk bersama mereka, atau bergaul bersama mereka, atau merasa tenang dengan mereka”.
وعن أيوب السختياني أنه دعي إلى غسل ميت فخرج مع القوم، فلما كشف عن وجه الميت عرفه -أنه من أهل البدع- فقال: أقبلوا قبل صحابكم، فلست أغسله، رأيته يماشي صاحب بدعة
“Dari Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan seorang mayit bersama suatu kaum. Ketika wajah mayit tersebut tersingkat, Ayyub baru tahu bahwa mayit tersebut adalah seorang ahlul bid’ah. Maka Ayyub berkata: tinggalkanlah orang ini! Aku tidak akan memandikannya, karena aku melihat ia berjalan bersama ahlul bid’ah”.
[Seseorang dinilai dari teman duduknya]
وقال ابن مسعود: اعتبروا الناس بأخدانهم -أي: برفقائهم وأقرانهم-؛ فإن الرجل لا يخادن إلا من يعجبه نحوه
“Ibnu Mas’ud mengatakan: kondisi manusia dilihat sesuai dengan teman-teman bergaulnya. Karena seseorajg tidak akan bergaul kecuali dengan orang-orang yang semisal dia”.
وقال قتادة: إنا والله ما رأينا الرجل يصاحب من الناس إلا مثله وشكله، فصاحبوا الصالحين من عباد الله؛ لعلكم أن تكونوا معهم أو مثلهم
“Qatadah mengatakan: Sungguh demi Allah kami melihat bahwa orang-orang pasti bersahabat dengan yang semisalnya dan mirip dengannya. Maka bersahabatlah dengan orang-orang shalih dari kalangan para hamba Allah. Semoga kalian menjadi orang shalih atau menjadi semisal dengan mereka”.
وقال مالك بن دينار: الناس أجناس كأجناس الطير، الحمام مع الحمام، والغرب مع الغراب، والبط مع البط، الصعو مع الصعو، وكل إنسان مع شكله
“Malik bin Dinar mengatakan: Manusia itu berkelompok seperti burung. Merpati biasanya bersama merpati. Elang biasanya dengan elang. Itik biasanya dengan itik. Burung kinglet biasanya dengan burung kinglet. Maka manusia itu biasanya dengan yang semisalnya”.
قال الأوزاعي: يعرف الرجل في ثلاثة مواطن: بألفته، ويعرف في مجلسه، ويعرف في منطقه
“Al Auza’i mengatakan: Seseorang dikenali dari tiga hal: dari perkumpulannya, dari teman duduknya dan dari cara bicaranya”.
(selesai nukilan dari Al Ibanah).
Namun sikap-sikap di atas tidak bisa dipraktikkan sepenuhnya di zaman sekarang. Yaitu di zaman kebid’ahan merajalela dan ahlul bid’ah banyak jumlahnya sedangkan Ahlussunnah sedikit. Sikap lemah lembut dan sabar dalam menghadapi ahlul bid’ah lebih diutamakan di zaman ini.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata:
هذا العصر عصر الرفق والصبر والحكمة ، وليس عصر الشدة ، الناس أكثرهم في جهل ،في غفلة وإيثار للدنيا ، فلا بد من الصبر ، ولا بد من الرفق حتى تصل الدعوة ، وحتى يبلغ الناس وحتى يعلموا
“Zaman ini adalah zamannya untuk berlemah-lembut, sabar dan bersikap hikmah. Bukan zamannya bersikap keras. Karena kebanyakan manusia dalam kejahilan, kelalaian dan lebih mementingkan urusan dunia. Oleh karena ini harus bersabar dan lemah lembut sampai dakwah ini tersampaikan dan sampai pada manusia agar mereka mengetahuinya.” (Majmu’ Fatawa, 8/376).
Namun dengan mengetahui sikap-sikap para salaf terhadap ahlul bid’ah, kita jadi mengetahui bahaya bid’ah dan bahaya ahlul bid’ah serta bersikap berhat-hati dalam berinteraksi dengan ahlul bid’ah. Wallahu a’lam.






Leave a comment