Imam Asy Syathibi rahimahullah (wafat 790 H) menjelaskan tentang makna bid’ah yang dilarang dalam agama:
طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية، يقصَد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
“Bid’ah adalah sebuah tata cara beragama yang diada-adakan, menyerupai syariat, dilakukan dengan maksud berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah Subhanah” (Al I’tisham, 1/37).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H) menjelaskan:
البدعة في الدين هي ما لم يشرعه الله ورسوله، وهو ما لم يأمر به أمر إيجاب ولا استحباب، فأما ما أمر به أمر إيجاب أو استحباب وعلم الأمر به بالأدلة الشرعية فهو من الدين الذي شرعه الله، وإن تنازع أولو الأمر في بعض ذلك، وسواء كان هذا مفعولاً على عهد النبي صلى الله عليه وسلم أو لم يكن
“Bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu perkara agama yang tidak diperintahkan dengan pewajiban atau penganjuran. Sedangkan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baik dengan bentuk pewajiban atau penganjuran dan itu diketahui dari dalil-dalil syar’i, maka yang demikian merupakan bagian dari agama yang disyariat oleh Allah. Walaupun diperselisihkan hukumnya setelah itu, baik pernah dilakukan oleh di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun belum pernah” (Majmu’ Al Fatawa, 4/ 107-108).
Jika kita merenungi definisi yang disebutkan oleh Asy Syathibi dan Syaikhul Islam di atas, kita akan lebih mudah untuk memilah mana yang bid’ah dan mana yang bukan. Sehingga ada 4 indikator utama dari bid’ah, yaitu:
- Merupakan suatu ritual atau tata cara beragama.
- Diada-adakan, tidak ada contoh atau tuntunannya dari Nabi atau para sahabat.
- Menyerupai ajaran agama yang sudah disyariatkan dalam Islam.
- Dilakukan dalam rangka ibadah atau mencari pahala.
Empat indikator ini bisa kita gunakan untuk membedakan mana perkara yang termasuk bid’ah dan mana yang bukan. Contohnya, shalat raghaib yang dilakukan pada hari Nishfu Sya’ban. Jika kita terapkan empat indikator di atas:
- Shalat raghaib merupakan suatu ritual beragama.
- Ia tidak ada contohnya dari Nabi atau para sahabat.
- Shalat raghaib menyerupai shalat-shalat sunnah yang disyariatkan dalam Islam.
- Orang yang melakukan shalat raghaib ia mencari pahala.
Maka melakukan shalat raghaib termasuk kebid’ahan.
Contoh yang bukan bid’ah adalah adzan dengan menggunakan mikropon. Karena perbuatan ini tidak memenuhi 4 indikator di atas. Adzan dengan menggunakan mikropon bukanlah suatu ritual beragama. Yang merupakan ritual adalah adzannya, adapun penggunakan mikropon bukanlah ritual namun hanya sarana. Oleh karena itu tidak ada yang meyakini penggunaan mikropon itu sebagai suatu keharusan. Bahkan mikropon bisa diganti dengan sarana lain seperti megaphone, wireless headset, corong suara, dll. Orang yang menggunakan mikropon untuk adzan pun tidak mencari pahala dari penggunaan mikropon, karena ia sekedar sarana. Sehingga jelas ini bukan kebid’ahan.
Selain empat indikator di atas, para ulama juga merumuskan kaidah-kaidah untuk mengenali bid’ah. Syaikh Muhammad Sa’id Raslan hafizhahullah ta’ala dalam kitab Dhawabith At Tabdi’ (hal. 43) menjelaskan delapan kaidah untuk mengenal bid’ah:
1. Setiap yang bertentengan dengan sunnah Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, atau akidah, walaupun berasal dari ijtihad.
2. Setiap perbuatan yang dijalankan untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal perbuatan tersebut telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
3. Setiap perkara yang tidak mungkin untuk disyariatkan dalam agama ini kecuali dengan nash dalil, dan realitanya tidak ada nash untuk perkara tersebut, maka ia bid’ah. Kecuali perkara yang dilakukan oleh para sahabat Nabi secara terus-menerus dan tidak ada sahabat lain yang mengingkari.
4. Semua kebiasaan orang kafir yang dimasukkan dalam peribadahan.
5. Semua yang dianjurkan oleh sebagian ulama, terlebih lagi ulama muta’akhirin, sedangkan penganjuran ini tidak didasari dalil.
6. Semua ibadah yang tata caranya hanya disebutkan dalam hadits dha’if atau palsu.
7. Semua bentuk ghuluw dalam ibadah.
8. Semua ibadah yang disyariatkan secara mutlak oleh syariat, namun dikhususkan dengan sifat tertentu baik dalam hal tempatnya, waktunya, tata caranya atau jumlah bilangannya, tanpa dalil.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.






Leave a comment