Nash-nash yang telah kami sebutkan di atas mendorong untuk memberikan hadiah dan menerima hadiah, namun ada beberapa sebab yang membuat seseorang terlarang untuk memberi atau menerima hadiah.

Beberapa sebab yang membuat hadiah sebaiknya ditolak

1. Jika merupakan risywah (sogokan) untuk menghalangi kebenaran atau menegakkan kebatilan

Tidakkah kamu melihat bahwa Ratu Saba’ memberikan hadiah kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, tetapi Nabi Sulaiman menolaknya? Padahal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menerima Hajar ketika dia diberikan sebagai hadiah kepada istrinya, dan Nabi kita Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam juga menerima hadiah? Lalu, mengapa Sulaiman ‘alaihissalam menolak hadiah itu sementara Nabi kita menerimanya?

Sulaiman ‘alaihissalam menolaknya karena hadiah tersebut merupakan risywah untuk membenarkan agamanya. Sang ratu mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman dengan tujuan agar beliau menyetujui penyembahan mereka kepada matahari dan mendiamkannya. Namun Nabi Sulaiman tidak dapat menerima hal itu. Apalagi karena beliau berada dalam posisi kuat dan mandiri, sehingga beliau menolak hadiah tersebut karena itu merupakan suap yang terkait dengan agama.

Allah ta’ala berfirman:

وَاِنِّيْ مُرْسِلَةٌ اِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنٰظِرَةٌ ۢبِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُوْنَ فَلَمَّا جَاۤءَ سُلَيْمٰنَ قَالَ اَتُمِدُّوْنَنِ بِمَالٍ فَمَآ اٰتٰىنِ َۧ اللّٰهُ خَيْرٌ مِّمَّآ اٰتٰىكُمْۚ بَلْ اَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُوْنَ اِرْجِعْ اِلَيْهِمْ فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُوْدٍ لَّا قِبَلَ لَهُمْ بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُمْ مِّنْهَآ اَذِلَّةً وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ

“Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu. Maka ketika para (utusan itu) sampai kepada Sulaiman, dia (Sulaiman) berkata, “Apakah kamu akan memberi harta kepadaku? Apa yang Allah berikan kepadaku lebih baik daripada apa yang Allah berikan kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. Kembalilah kepada mereka! Sungguh, Kami pasti akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak mampu melawannya, dan akan kami usir mereka dari negeri itu (Saba’) secara terhina dan mereka akan menjadi (tawanan) yang hina dina.” (QS. An Naml: 35-37).

Maka jika hadiah tersebut merupakan suap untuk menghalangi kebenaran atau menegakkan kebatilan, maka tidak boleh diterima.

Demikian pula, jika hadiah diberikan kepada para penguasa, menteri, atau pejabat (seperti hakim, polisi, dan yang sejenis) agar mereka memberikan sesuatu yang bukan hak anda atau melalaikan sesuatu yang seharusnya tidak mereka abaikan, maka haram hukumnya memberikan hadiah tersebut dan haram pula bagi mereka untuk menerimanya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersikap keras dalam melarang hal ini.

Dalam Shahihain, dari hadis Abu Hamid As-Sa’idi radhiallahu’anhu,

استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا من الأزد يقال له ابن التبية على الصدقة ، فلما قدم قال : هذا لكم وهذا أهدي لي . قال: ( فهلا جلس في بيت أبيه ـ أو بيت أمه ـ فينظر أيهدى له أم لا ؟ والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منكم شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته ، إن كان بعيرا له رغاء ، أو بقرة لها خوار ، أو شاة تيعر ـ ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه ـ اللهم هل بلغت ، اللهم هل بلغت . ثلاثا

“Nabi ﷺ mengutus seorang laki-laki dari suku Azd yang bernama Ibn Lutbiyyah untuk mengumpulkan sedekah. Ketika ia kembali, ia berkata: “Ini untuk kalian dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku”. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Mengapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya untuk melihat apakah ada yang memberinya hadiah atau tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara kalian mengambil sesuatu kecuali dia akan membawanya pada Hari Kiamat di atas lehernya. Jika berupa unta, maka unta itu akan mengeluarkan suara. Jika berupa sapi, maka sapi itu akan melenguh. Atau jika berupa kambing, maka kambing itu akan mengembik”. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya dan berkata, “Ya Allah, sungguh aku telah menyampaikannya! Ya Allah, sungguh aku telah menyampaikannya!” (Beliau mengulanginya tiga kali). (HR. Al Bukhari no.2597 dan Muslim no.1832)

Kemudian Al Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq, sebagaimana dijelaskan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5/260) bahwa Ibnu Sa’ad meriwayatkan dengan kisah di dalamnya, dari jalur Furāt bin Muslim yang berkata:

اشتهى عمر بن عبد العزيز التفاح فلميجد في بيته شيئا يشتري به فركبنا معه فتلقاه غلمان الدبر بأطباق تفاح فتناول واحدة فشمها ثم رد الأطباق فقلت له في ذلك :لا حاجة لي فيه ، فقلت : ألم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ؟ فقال : إنها لأةلئك هدية ، وهي للعمال بعدهم رشوة

‘Umar bin Abdul Aziz suatu kali menginginkan buah apel, tetapi tidak ada apa pun di rumahnya untuk membelinya. Kami pun pergi bersamanya. Dan di tengah perjalanan, beberapa anak dari kebun datang membawa nampan berisi apel. Umar mengambil satu buah dan menghirup aromanya, lalu mengembalikan nampan itu. Aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Umar menjawab, “Aku tidak membutuhkannya”. Aku bertanya lagi, “Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menerima hadiah?”. Umar menjawab, “Itu adalah hadiah bagi mereka (para nabi), tetapi untuk para pejabat setelah mereka, itu adalah suap”.

Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah,

كانت الهدية في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم هدية واليوم رشوة

“Pada masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, hadiah adalah hadiah. Tetapi sekarang ia adalah suap”.

Abdul Razzaq dalam Al-Mushannaf meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata:

السحت الرشوة في الدين . قال سفيان : يعني الحكم

Suht (penghasilan haram) adalah suap dalam urusan agama”. Sufyan menjelaskan: maksudnya suap terkait dengan hukum. (Al-Mushannaf, no.14664). Lihat juga As-Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi (10/139).

Abu Daud dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Abdullah bin Amr radhiallahu’anhu. Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي

“Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud no.3580, At-Tirmidzi [4/567], dan Ibnu Majah [2/755]).

Banyak ulama yang berpendapat bahwa ‘ar-rāsyi’ adalah pemberi suap, ‘al-murtasyi’ adalah penerima suap, dan ‘ar-rā’is’ adalah perantara di antara keduanya. Mereka juga menjelaskan bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan untuk menghilangkan hak atau menegakkan kebatilan. Namun, jika seseorang memberikan sesuatu untuk mendapatkan haknya atau melindungi dirinya dari kezaliman, maka tidak mengapa.

Lihat keterangan yang disebutkan oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfat Al-Ahwadzi, juga oleh Syamsul Haq Azhim Abadi dalam Aun Al-Ma’bud, serta Al-Khattabi dalam Ma’alim As-Sunan, dan lainnya.

2. Jika berupa barang curian atau barang yang haram

Demikian pula, jika hadiah tersebut berupa barang curian atau sesuatu yang haram, maka tidak boleh diterima karena hal itu termasuk memakan harta haram dan membantu dalam dosa dan permusuhan.

Dalam Musnad Imam Ahmad, disebutkan :

أن المغيرة بن شعبة صحب قوما من المشركين فوجد منهم غفلة فقتلهم وأخذ اموالهم فجاء بها إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأبى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يقبلها

“Bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah pernah bepergian bersama sekelompok orang musyrik. Ketika Al-Mughirah mendapati mereka sedang lengah, Al-Mughirah membunuh mereka dan mengambil harta benda mereka. Kemudian Al-Mughirah datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membawa harta tersebut, tetapi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menolak untuk menerimanya” (HR. Ahmad [4/246], dari jalur Abu Mu’awiyah yang meriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Al-Mughirah bin Syu’bah).

Riwayat Abu Mu’awiyah dari Hisyam, terdapat kelemahan di dalamnya. Namun hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam Shahih Bukhari (2731, 2732),

وكان المغيرة صحب قوما في الجاهلية فقتلهم وأخذ أموالهم ثم جاء فأسلم فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( أم الإسلام فأقبل وأما لمال فلست منه في شيء )

Al-Mughirah pernah bepergian bersama mereka pada masa jahiliah, lalu dia membunuh mereka dan mengambil harta benda mereka, kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Adapun mengenai Islamnya mereka, maka aku menerimanya. Tetapi mengenai harta itu, aku tidak memiliki kaitan apa pun dengannya”.

3. Jika hadiah diberikan agar memperoleh lebih banyak

Demikian pula, jika seseorang memberikan hadiah dengan tujuan memperoleh lebih banyak darimu, dan jika dia tidak mendapatkan lebih banyak, maka dia akan merasa tidak puas. Jika engkau mengetahui bahwa ini adalah kebiasaan dari si pemberi, maka wallahu a’lam, engkau boleh tidak menerima hadiah darinya.

Allah Ta’ala berfirman:

واآتيتم من ربا ليربو في أموال الناس فلا يربو عند الله

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS. Ar-Rum: 39).

Ayat ini berlaku dalam kondisi demikian, ketika seseorang memberi hadiah dengan harapan mendapatkan balasan berlipat ganda dari penerimanya.

Atau jika pemberi hadiah menganggap hadiahnya sebagai hutang yang harus engkau bayar, sementara engkau tidak ingin memikul beban hutang, baik secara syariat maupun secara ‘urf. Maka dalam keadaan seperti ini kamu engkau menolak dengan cara yang baik dan sopan, yang tidak melukai perasaannya atau mengganggu pikirannya.

4. Jika pemberi hadiah suka menyebut-nyebut pemberian

Demikian pula, jika pemberi hadiah suka menyebut-nyebut hadiahnya dan menyombongkan pemberiannya, maka engkau boleh menolak dalam keadaan seperti ini.

Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى يْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264).

Semua perkara di atas diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun hukum asalnyanya adalah dianjurkan untuk memberi hadiah, menerimanya, dan membalasnya.

Beberapa kondisi dilarang memberi hadiah

1. Jika hadiah bisa digunakan untuk maksiat

Demikian pula, makruh bagimu untuk memberikan hadiah kepada orang jahil yang akan menggunakan hadiah darimu untuk maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan untuk berbuat kerusakan di bumi. Karena Allah Ta’ala berfirman:

والله لا يحب الفساد

“Dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 205).

Dan Dia juga berfirman:

ولا تؤتوا السفهاء أموالكم التي جعل الله لكم قياما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوا لهم قولا معروفا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” (QS. An-Nisa: 5).

2. Pemberian yang menimbulkan ketidak-adilan

Juga, perhatikan saat memberi hadiah apakah hadiah itu memperbaiki dalam satu hal, tetapi menimbulkan kerusakan dalam hal lain? Ataukah hadiah tersebut sepenuhnya membawa kebaikan? Misalnya, anda mungkin memberi hadiah kepada salah satu anakmu tetapi tidak kepada yang lain, yang dapat menyebabkan kerusakan dan kecemburuan di antara anak-anak.

An-Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu mengatakan:

أعطاني أبي عطية ، فقالت عمرة بنت رواحة : لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه وسلم . فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: إني أعطيت ابني من عمرة بنت رواحة عطية ، فأمرتني أن أشهدك يا رسول الله . قال: ( أعطيت سائر ولدك مثل هذا ؟ ) قال :لا . قال: ( فاتقوا الله واعدلوا بين أولادكم ) .قال:فرجع فرد عطيته

Ayahku memberikan hadiah kepadaku, lalu Amrah binti Rawahah berkata, ‘Aku tidak akan puas sampai engkau meminta kesaksian dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam‘. Maka ayahku datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan berkata, ‘Aku telah memberi hadiah kepada anakku dari Amrah binti Rawahah, dan dia memintaku untuk meminta kesaksianmu, wahai Rasulullah.’ Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya: ‘Apakah engkau memberi hadiah yang sama kepada seluruh anakmu?’ Ayahku menjawab, ‘Tidak.’ Maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersikaplah adil kepada anak-anakmu’ Lalu ayahku pun kembali dan menarik hadiah tersebut. (HR. Bukhari no.2587 dan Muslim no. 1623).

3. Hadiah kepada pemberi hutang

Abdul Razzaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf (14650) dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, yang berkata:

إذا أسلفت رجلا سلفا فلا تقبل منه هدية ولا عارة ركوب دابة

“Jika engkau menghutangi seseorang, janganlah menerima hadiah darinya atau sekedar pinjaman kendaraan”.

Ia juga meriwayatkan Al Mushannaf (14651), yang juga sahih, dan diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi (5/350), dari jalur Salim bin Abi Al-Ja’d, ia berkata:

جاء رجل إلى ابن عباس فقال : إنه كان لنا جار سماك فأقرضته خمسين درهما ، وكان يبعث إلي من سمكه ، فقال ابن عباس : حاسبه ، فإن كان فضلا فرد عليه ، وإن كان كفافا فقاصصه

“Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas dan berkata: ‘Kami memiliki tetangga seorang penjual ikan, aku meminjaminya lima puluh dirham, lalu ia mengirimkan ikan kepadaku.’ Maka Ibnu Abbas berkata: “Hitunglah, jika nilai ikan itu lebih dari nilai hutang yang kau berikan, kembalikan kelebihannya. Tetapi jika setara, ambillah”.

Abdul Razzaq juga meriwayattkan dalam Al-Mushannaf (14649) dengan sanad sahih dari Ibrahim dari ‘Alqamah, yang berkata:

إذا نزلت على رجل لك عليه دين فأكلت عليه فأحسبه له ما أكلت عنده ، إلا أن إبراهيم كان يقول : إلا أن يكون معروفا كانا يتعاطيانه قبل ذلك

‘Jika engkau bertamu kepada seseorang yang memiliki hutang kepadamu dan makan di rumahnya, maka hitunglah apa yang engkau makan kecuali jika itu sudah menjadi kebiasaan yang saling kalian lakukan sebelumnya’.

Terdapat sejumlah riwayat lain dalam bab ini, meskipun sebagian sanadnya memiliki kelemahan. (Lihat Al-Musannaf karya Abdul Razzaq {5/142} dan As-Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi [5/349]).

Saya katakan, jika anda meminjamkan seseorang sejumlah uang dan ia melunasinya disertai tambahan tanpa permintaan dari dirimu, dan ia memberikannya dengan senang hati, maka tidak ada halangan untuk menerimanya. Hal ini berdasarkan hadis sahih dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, yang berkata:

كان لرجل على النبي صلى الله عليه وسلم سن (يعني: جمل له سن معين ) من الإبل فجاءه يتقاضاه فقال: (أعطوه ) فطلبوا سنه فلم يجدوا إلا سنا فوقها (وفي رواية أخرى : لانجد إلا سنا أفضل من سنه) ، فقال : ( أعطوه ) ، فقال : أوفيتني أوفى الله بك فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( إن خياركم أحسنكم قضاء ).

“Ada seseorang yang pernah menghutangi seekor unta tertentu kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu ia datang menagihnya. Maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Berikan unta kepadanya’!. Para sahabat lalu mencari unta yang sejenis namun tidak menemukan kecuali yang lebih besar. Dalam riwayat lain: ‘Kami hanya menemukan unta yang lebih baik daripada yang diminta’. Maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Berikan unta itu kepadanya’. Lalu orang itu berkata: ‘Engkau telah memenuhi hakku, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan’. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang’ (HR. Al Bukhari no.2393 dan Muslim no.1601).

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan dalam hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وهو في المسجد وكان لي عليه دين فقضاني وزادني

“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di masjid, dan aku memiliki piutang kepada beliau, lalu beliau membayarnya kepadaku dan menambahkannya.” (HR. Al Bukhari no. 2394 dan Muslim hal. 1222-1223).

Selain itu, seseorang sebaiknya berhati-hati dan bersikap wara’ (menjaga diri) terhadap hadiah jika hadiah tersebut bisa menjadi pengganti riba. Kadang, seseorang meminjam uang dari orang lain, dan ketika tiba waktu pembayaran, si peminjam tidak mampu membayarnya, lalu ia memilih memberi hadiah kepada pemilik uang tersebut untuk membuatnya tenang dan agar si pemberi pinjaman bersabar. Dalam situasi seperti ini, bentuk sikap wara’ adalah dengan tidak menerima hadiah tersebut. Ya, menerima hadiah diperbolehkan selama tidak ada persyaratan, tetapi yang lebih wara’ adalah meninggalkan hadiah jika kondisinya demikian.

Dalam bab ini, aku sebutkan apa yang diriwayatkan oleh Shahih Bukhari (no. 3814), dari Abu Burdah, ia berkata,

أتيت المدينة فلقيت عبد الله بن سلام رضي الله عنه فقال : ألا تجيء فأطعمك سويقا وتمرا وتدخل بيت ؟ ثم قال: إنك في أرض الربا بها فاش ، إذا كان لك على رجل حق فأهدي إليك حمل تبن أو حمل شعير أو حمل قت فإنه ربا

“Aku tiba di Madinah, lalu aku bertemu Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Maukah engkau datang, aku akan memberimu makanan dari sya’ir (sejenis gandum) dan kurma, dan mengajakmu masuk ke dalam rumah?’ Lalu ia berkata, ‘Engkau berada di negeri di mana riba merajalela. Jika engkau memiliki piutang kepada seseorang, kemudian ia memberikan hadiah berupa sekantong jerami, sekantong gandum, atau sekantong sya’ir, maka itu adalah riba.’”

4. Hadiah kepada lawan jenis jika bisa menimbulkan fitnah

Seperti yang telah kami sampaikan, diperbolehkan bagi seorang wanita memberi hadiah kepada pria dan seorang pria memberi hadiah kepada wanita, dengan syarat, sebagaimana diketahui, hal itu aman dari fitnah. Namun, jika pemberian hadiah seorang wanita kepada pria atau sebaliknya bisa menimbulkan fitnah, di mana wanita itu masuk ke dalam hati pria atau sebaliknya, dan hal tersebut dapat membawa kepada yang diharamkan, maka dalam kondisi seperti itu, hadiah tersebut dilarang bukan karena hadiah itu haram, tetapi untuk mencegah hal yang bisa menyebabkan kepada yang haram, sebab Allah tidak menyukai kerusakan.

Tidak boleh memaksa orang memberikan hadiah

Seseorang juga sebaiknya tidak memaksa orang lain untuk memberikan hadiah kepadanya. Jika kamu melakukan hal itu, mungkin saja hadiah tersebut tidak akan diberkahi bagimu. Namun, jika kamu diberi hadiah tanpa meminta atau tanpa mengharapkan, maka keberkahan akan menyertainya. Pastikan pula bahwa pemberi hadiah memberikannya dengan ikhlas. Perhatikan hadits ini yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih -nya, dan lihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga agar hati pemberi hadiah ikhlas.

Dalam Shahih Bukhari (no. 2607-2608), diriwayatkan dari Marwan bin Hakam dan Al-Miswar bin Makhramah,

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال حين جاءه وفد هوزان مسلمين . فسألوه أن يرد إليهم أموالهم وسبيهم ، فقال لهم : ( معي من ترون ، وأحب الحديث إلى أصدقه ، فاختاروا إحدى الطائفتين : إما السبي وإما المال ، وقد كنت استأنيت ) وكان النبي صلى الله عليه وسلم انتظرهم بضع عشرة ليلة حين قفل من الطائف ـ فلما تبين لهم أن النبي صلى الله عليه وسلم غير راد إليهم إلا إحدى الطائفتين قالوا : فإنا نختار سبينا . فقام في المسلمين فأثنى على الله بما هو أهله ثم قال : ( أما بعد فإن إخوانكم هؤلاء جاءونا تائبين .وإني أحب أن يكون على حظه حتى نعطيه إياه من أول ما يفيء الله علينا فليفعل) . فقال الناس : طيبنا يا رسول الله لهم . فقال لهم : ( آنا لا ندري من أذن منكم فيه ممن لم يأذن ، فارجعوا حتى يرفع إلينا عرفاؤهم ) . ثم رجعوا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبروه أنهم طيبوا و أذنوا

Bahwa ketika delegasi Hawazin datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Muslim, mereka meminta agar harta dan tawanan mereka dikembalikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, “Bersamaku ada orang-orang yang kalian lihat, dan perkataan yang paling aku sukai adalah perkataan yang jujur. Pilihlah salah satu dari dua pilihan: tawanan atau harta, sebab aku sudah menunggu”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunggu mereka selama lebih dari sepuluh malam sepulangnya dari Thaif. Ketika mereka menyadari bahwa Nabi hanya akan memberikan salah satu dari dua pilihan itu, mereka berkata, “Kami memilih tawanan kami”. Maka beliau berdiri di tengah kaum Muslimin, memuji Allah dengan pujian yang layak bagi Allah, lalu bersabda, “Sesungguhnya saudara-saudara kalian ini telah datang kepada kita dengan bertaubat, dan aku ingin memberikan hak mereka. Semoga setiap orang di antara kalian ridha sehingga kita dapat memberikannya karunia kepada mereka seperti apa yang Allah limpahkan kepada kita.” Orang-orang pun berkata, “Kami telah merelakannya, wahai Rasulullah“. Lalu Nabi bersabda, “Kami tidak tahu siapa di antara kalian yang mengizinkan dan yang tidak, jadi kembalilah dan biarkan para pemimpin kalian mengabarkannya kepada kami”. Kemudian mereka kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberi tahu bahwa mereka telah ridha dan mengizinkan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن المال خضرة حلوة فمن أخذه بسخاوة بورك له فيه ، ومن أخذه بإشراف نفس لم يبارك فيه كالذي يأكل ولا يشبع

“Sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa yang menerimanya dengan kelapangan hati, maka harta itu akan diberkahi baginya, dan barangsiapa yang menerimanya dengan keinginan yang berlebihan, maka harta itu tidak akan diberkahi, seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang”

Hadits ini diriwayatkan oleh Shahih Bukhari (no. 1472) dan Shahih Muslim (no. 1035) dari hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu.

Dalam riwayat lain, Hakim berkata,

سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم فأعطاني ، ثم سألته فأعطاني ، ثم سألته فأعطاني ثم قال : ( يا حكيم ، إن هذا المال خضرة حلوة ، فمن أخذه بسخاوة نفس بورك له فيه ، ومن أخذه بإشراف نفس لم يبارك فيه ، كالذي يأكل و لا يشبع . اليد العليا خير من اليد السفلى )

“Aku meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memberiku, kemudian aku meminta lagi, dan beliau pun memberiku, lalu aku meminta lagi, dan beliau kembali memberiku. Setelah itu beliau bersabda: ‘Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Barangsiapa yang mengambilnya dengan lapang hati, maka ia akan diberkahi, dan barangsiapa yang mengambilnya dengan keinginan yang berlebihan, maka ia tidak akan diberkahi, seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.’

Hakim berkata, “Aku pun berkata:

يا رسول الله ، والذي بعثك بالحق لا أرزأ أحدا بعدك شيئا حتى أفارق الدنيا . فكان أبو بكر رضي الله عنه يدعو حكيما إلى العطاء فيأبى أن يقبله منه . ثم إن عمر رضي الله عنه دعاه ليعطيه فأبى أن يقبل منه شيئا . فقال عمر : إني أشهدكم يا معشر المسلمين على حكيم أني أعرض عليه حقه من هذا الفيء فيأبى أن يأخذه فلم يرزأ حكيم أحدا من الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى توفي

‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan meminta atau menerima apa pun dari siapa pun setelah engkau hingga aku meninggalkan dunia.’” Setelah itu, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengundang Hakim untuk memberinya hadiah, namun ia menolak untuk menerimanya. Kemudian, Umar radhiyallahu ‘anhu juga mengundangnya untuk memberinya hadiah, namun ia tetap menolak. Maka Umar berkata, “Aku bersaksi kepada kalian, wahai kaum Muslimin, bahwa aku telah menawarkan haknya dari harta fa’i ini kepadanya, namun ia menolak untuk menerimanya.” Hakim tidak pernah mengambil harta dari siapa pun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga ia wafat. (HR. Al Bukhari no.1472, 2750).

Dalam Shahih Muslim (no. 1037), dari hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنما أنا خازن فمن أعطيته عن طيب نفس فيبارك له فيه ومن أعيطته عن مسألة وشره كان كالذي يأكل و لا يشبع

‘Sesungguhnya aku hanyalah seorang penjaga. Barangsiapa yang aku beri sesuatu dengan lapang hati, maka akan diberkahi baginya. Dan barangsiapa yang aku beri karena ia meminta dengan rakus, maka ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang.’

Juga dalam Shahih Muslim (no.1038)dari hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu yang lain, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تلحفوا في المسألة فوالله لا يسألني أحد منكم شيئا فتخرج له مسألته شيئا و أنا له كاره فيبارك له فيما أعطيته

“‘Janganlah kalian meminta dengan memaksa. Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang meminta sesuatu kepadaku, lalu permintaannya dikabulkan sementara aku tidak rela, maka ia akan diberkahi atas apa yang aku berikan kepadanya“.

Wallahu a’lam.

Umroh Keluarga Bahagia Di Awal Ramadhan Bersama Ustadz Yulian Purnama

Program “Umroh Keluarga Bahagia” adalah program umroh yang dirancang untuk jamaah yang berumrah bersama keluarga beserta anak-anaknya. Kami siapkan acara-acara menarik selama perjalanan di tanah suci.Hotel sangat dekat dengan Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, free kereta cepat Madinah-Makkah, bersama Batik Travel di bulan Februari 2026. Dibimbing oleh Ustadz Yulian Purnama –hafizhahullah

Paket 9 Hari, berangkat: 16 Februari 2026

📲 Tanya-tanya dulu juga boleh! 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Fawaid Kangaswad adalah platform dakwah sunnah melalui website fawaidkangaswad.id dan beberapa kanal di media sosial seperti whatsapp, telegram, instagram dan twitter.

Fawaid Kangaswad juga mengelola Ma’had Fawaid Kangaswad, yaitu program belajar Islam berbasis kitab kuning karya para ulama Ahlussunnah, melalui media grup Whatsapp.

Fawaid Kangaswad juga menyebarkan buku-buku serta e-book bermanfaat secara gratis.

Dukung operasional kami melalui:

https://trakteer.id/kangaswad
(transfer bank, QRIS, OVO, Gopay, ShopeePay, Dana, LinkAja, dll)

Atau melalui:

Bank Mandiri 1370023156371 a/n Yulian Purnama

Semoga menjadi pahala jariyah.

Trending