Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah berlandaskan pada Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) salafush shalih semata. Akidah Ahlussunnah juga memiliki ciri khas, yaitu tersambung sanadnya hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, dan para imam kaum Muslimin.
Keistimewaan ini tidak ditemukan dalam mazhab-mazhab ahlul kalam dan tasawuf yang berlandaskan pada akal dan logika, atau pada kasyaf (penyingkapan batin), ilham, dan dugaan, atau berlandaskan pada pendapat orang-orang yang diklaim memiliki sifat maksum (pasti benar tidak mungkin salah) padahal mereka bukan nabi, atau orang yang mengaku memiliki pengetahuan tentang ilmu gaib seperti para imam, pemimpin, wali, wali quthub, wali ghauts, dan lainnya. Mereka juga menganggap bahwa para wali tersebut dapat mengamalkan aturan dan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
بهذا يتبيَّنُ أنَّ أحَقَّ النَّاسِ بأن تكونَ هي الفِرقةَ النَّاجيةَ أهلُ الحديثِ والسُّنَّةِ، الذين ليس لهم مَتبوعٌ يتَعصَّبونَ له إلَّا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، وهم أعلَمُ النَّاسِ بأقوالِه وأحوالِه، وأعظمُهم تمييزًا بين صَحيحِها وسَقيمِها، وأئمَّتُهم فُقهاءُ فيها، وأهلُ مَعرفةٍ بمعانيها، واتِّباعًا لها؛ تصديقًا وعَمَلًا، وحبًّا وموالاةً لِمَن والاها، ومُعاداةً لِمَن عاداها…
“Dengan ini jelas bahwa orang yang paling berhak disebut sebagai golongan yang selamat adalah Ahlul Hadits dan Ahlussunnah, yang tidak memiliki tokoh yang mereka berfanatik kepadanya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semata. Ahlul hadits adalah orang-orang yang paling mengetahui perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, yang paling mampu membedakan hadits Nabi yang shahih dan yang lemah. Dan mereka adalah para imam yang ahli tentang fikih hadits-hadits Nabi, serta orang-orang yang memahami maknanya dan mengikutinya dengan benar. Baik dalam meyakininnya dan mengamalkannya, mencintainya dan loyal kepada yang orang-orang mencintainya, serta memusuhi yang memusuhinya.
لا يَنصِبونَ مَقالةً ويَجعَلونَها من أصولِ ديِنهم وجُمَل كلامِهم، إن لم تكُنْ ثابتةً فيما جاء به الرَّسولُ، بل يجعلونَ ما بُعِثَ به الرَّسولُ من الكِتابِ والحِكمةِ هو الأصلَ الذي يَعتَقِدونَه ويَعتَمِدونَه،
Mereka (Ahlussunnah) tidak menetapkan suatu perkataan dan menjadikannya sebagai pokok agama mereka dan, pokok pembicaraan mereka, jika hal itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Bahkan, mereka menjadikan apa yang dibawa oleh Rasul dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan yang mereka yakini dan mereka jadikan pegangan.
وما تنازعَ فيه النَّاسُ من مسائِلِ الصِّفاتِ والقَدَرِ والوَعيدِ والأسماءِ، والأمرِ بالمعروفِ، والنَّهيِ عن المنكَرِ، وغيرِ ذلك: يردُّونَه إلى اللهِ ورَسولِه، ويُفَسِّرون الألفاظَ المجمَلةَ التي تنازَعَ فيها أهلُ التفَرُّقِ والاختلافِ؛ فما كان من معانيها مُوافِقًا للكِتابِ والسُّنَّةِ أثبتوه، وما كان منها مخالِفًا للكِتابِ والسُّنَّةِ أبطَلوه؛ ولا يتَّبِعونَ الظَّنَّ وما تهوى الأنفُسُ؛ فإنَّ اتِّباعَ الظَّنِّ جَهلٌ، واتِّباعَ هوى النَّفسِ بغيرِ هدًى مِنَ اللهِ: ظلمٌ
Dalam masalah yang diperselisihkan manusia, seperti masalah sifat-sifat Allah, takdir, dalil-dalil ancaman, nama-nama Allah, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan masalah lainnya, mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka menjelaskan istilah-istilah umum yang diperdebatkan oleh firqah-firqah menyimpang. Makna yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, mereka tetapkan; dan makna yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, mereka ingkari. Mereka tidak mengikuti sangkaan atau hawa nafsu. Karena mengikuti sangkaan adalah kebodohan, dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah adalah kezaliman” (Majmu’ Al Fatawa, 3/347).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
مِن كَيدِه بهم وتحيُّلِه على إخراجِهم من العِلمِ والدِّينِ: أن ألقى على ألسِنَتِهم أنَّ كلامَ اللهِ ورَسولِه ظواهِرُ لفظيَّةٌ لا تفيدُ اليقينَ، وأوحى إليهم أنَّ القواطعَ العقليَّةَ والبَراهينَ اليقينيَّةَ؛ في المناهِجِ الفَلسفيَّةِ والطُّرُقِ الكلاميَّةِ! فحالَ بينهم وبيْن اقتباسِ الهُدى واليقينِ مِن مِشْكاةِ القُرآنِ، وأحالهم على مَنطِقِ اليونانِ، وعلى ما عِندَهم من الدَّعاوى الكاذِبةِ العَرِيَّة عن البُرهانِ، وقال لهم: تلك علومٌ قديمةٌ صَقَلَتها العُقولُ والأذهانُ، ومَرَّتْ عليها القُرونُ والأزمانُ! فانظُرْ كيف تلطَّف بكَيدِه ومَكْرِه حتى أخرَجَهم من الإيمانِ والدِّينِ، كإخراجِ الشَّعرةِ مِنَ العَجِين؟!
“Di antara tipu daya setan kepada firqah-firqah menyimpang adalah membuat mereka berkata bahwa perkataan Allah dan Rasul-Nya hanyalah makna-makna lahiriah yang tidak meyakinkan. Setan menanamkan dalam pikiran mereka bahwa logika yang jelas dan bukti-bukti yang meyakinkan itu terdapat dalam metode filsafat dan ilmu kalam! Dengan demikian, setan menghalangi mereka dari mendapatkan petunjuk dan keyakinan dari cahaya Al-Qur’an, dan mengalihkan mereka kepada logika Yunani serta klaim-klaim palsu mereka yang tidak berdasar. Setan berkata kepada mereka bahwa ilmu filsafat dan ilmu kalam tersebut adalah ilmu kuno yang telah diasah oleh akal dan pikiran, serta telah melewati berbagai zaman! Lihatlah bagaimana tipu daya setan telah berhasil sehingga ia mengeluarkan mereka dari iman dan agama, seperti menarik sehelai rambut dari adonan!”.
ومِن كَيدِه: ما ألقاه إلى جُهَّالِ المتصوِّفةِ مِنَ الشَّطحِ والطَّامَّاتِ، وأبرزه لهم في قالَبِ الكَشفِ من الخيالاتِ؛ فأوقَعَهم في أنواعِ الأباطيلِ والتُّرَّهاتِ، وفَتَح لهم أبوابَ الدَّعاوى الهائِلاتِ، وأوحى إليهم أنَّ وراءَ العِلمِ طَريقًا إنْ سلكوه أفضى بهم إلى كَشْفِ العِيانِ، وأغناهم عن التقيُّدِ بالسُّنَّةِ والقُرآنِ
“Di antara tipu daya setan adalah apa yang ia tanamkan kepada orang-orang sufi yang jahil, berupa ungkapan-ungkapan yang ghuluw dan isinya berupa bencana. Yang ditampilkan oleh setan dengan kedok kasyaf (penyingkapan ilmu batin) yang berasal dari khayalan mereka. Sehingga menjadikan mereka terjebak dalam berbagai jenis kebatilan dan omong kosong. Setan membuka bagi mereka pintu-pintu klaim-klaim yang mengerikan, dan setan menanamkan dalam pikiran mereka bahwa ada jalan lain di luar jalan ilmu yang jika mereka ikuti akan membawa mereka kepada kasyaf dan membuat mereka merasa tidak perlu lagi mengikuti Sunnah dan Al-Qur’an” (Ighatsatul Lahafan, 1/207).
Wallahu a’lam.
Sumber: Mau’su’ah Aqdiyah Durarus Saniyah






Leave a comment