Pertama: Mensyukuri nikmat makanan
Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mensyukuri nikmat makanan. Allah ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah” (QS. Al Baqarah: 172).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
يقول تعالى آمرا عباده المؤمنين بالأكل من طيبات ما رزقهم تعالى ، وأن يشكروه على ذلك ، إن كانوا عبيده ، والأكل من الحلال سبب لتقبل الدعاء والعبادة ، كما أن الأكل من الحرام يمنع قبول الدعاء والعبادة
“Allah ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk makan dari rezeki baik yang telah Dia karuniakan kepada mereka. Dan memerintahkan untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut, jika mereka benar hamba-Nya yang sejati. Dan makan dari yang halal merupakan sebab diterimanya doa dan ibadah, sedangkan makan dari yang haram mencegah diterimanya doa dan ibadah” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/481).
Dan cara mensyukuri nikmat makanan adalah dengan melakukan tiga perkara. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan: “Syukur atas nikmat memiliki tiga rukun yang harus dipenuhi. Rukun pertama: menyatakan nikmat itu secara lahiriah, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya” (QS. Ad-Duha: 11). Rukun kedua: mengakui nikmat itu dalam hati, dengan meyakini bahwa itu berasal dari Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Rukun ketiga: menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan kepada Allah dan memanfaatkannya untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Liqa al-Jumu’ah, 02-11-1440).
Kedua: Mencukupkan diri dengan yang halal
Wajib mencukupkan diri dengan makanan yang halal dan menjauhi makanan yang haram. Allah ta’ala berfirman,
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya“ (QS. Al-Maidah: 88).
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah: 168).
Dan ketahuilah bahwa makanan haram itu membahayakan diri Anda. Karena ia akan menjerumuskan Anda ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).
Makanan dan minuman yang haram juga penghalang terkabulnya doa. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya menjadi kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Rabbi, Ya Rabbi”. Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Maka, bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan doanya?” (HR. Muslim no. 1015).
Ketiga: Tidak mempersembahkan makanan untuk ibadah kepada selain Allah
Makanan berupa daging wajib disembelih dengan cara yang syar’i dan dengan menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya. Tidak boleh menyebut nama selain Allah ketika menyembelihnya. Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” (QS. Al-Ma’idah: 3).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan” (QS. Al-An’am: 121).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السن والظفر، وسأُحُدٍثكم عن ذلك : أما السن فعظم، وأما الظفر فمدى الحبشة
“(Jika sembelihan disembelih) dengan alat yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah, maka makanlah. Asalkan bukan disembelih dengan gigi atau kuku. Akan aku sampaikan kepada kalian tentang itu. Adapun gigi, itu termasuk tulang. Sedangkan kuku, itu alat sembelihan kaum Habasyah” (HR. Bukhari no. 3075, Muslim no. 1968).
Makanan yang dipersembahkan untuk selain Allah tidaklah halal dimakan. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan:
قَالَ الرَّافِعِيُّ وَاعْلَمْ أَنَّ الذَّبْحَ لِلْمَعْبُودِ وَبِاسْمِهِ نَازِلٌ مَنْزِلَةَ السُّجُودِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ أَنْوَاعِ التَّعْظِيمِ وَالْعِبَادَةِ الْمَخْصُوصَةِ بِاَللَّهِ تَعَالَى الَّذِي هُوَ الْمُسْتَحِقُّ لِلْعِبَادَةِ فَمَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِهِ مِنْ حَيَوَانٍ أَوْ جَمَادٍ كَالصَّنَمِ عَلَى وَجْهِ التَّعْظِيمِ وَالْعِبَادَةِ لَمْ تَحِلَّ ذَبِيحَتُهُ وَكَانَ فِعْلُهُ كُفْرًا كَمَنْ يَسْجُدُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى سَجْدَةَ عِبَادَةٍ
“Ar Rafi’i mengatakan: ketahuilah, bahwa menyembelih kepada suatu sesembahan itu semakna dengan sujud kepadanya. Keduanya merupakan bentuk pengagungan dan ibadah yang khusus bagi Allah Ta’ala semata. Allah lah yang semata-mata berhak ditujukan kepada-Nya semua ibadah. Maka barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah semisal untuk hewan atau untuk benda mati seperti berhala dalam rangka pengagungan dan ibadah, maka tidak halal daging sembelihannya tersebut dan perbuatannya merupakan kekufuran, sebagaimana orang yang bersujud kepada Allah Ta’ala dengan sujud ibadah” (Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, 8/409).
Keempat: Tidak mencela makanan
Tidak diperbolehkan mencela makanan sama sekali. Karena makanan adalah nikmat dari Allah ta’ala. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Apabila beliau menyukainya beliau memakannya. Apabila beliau tidak menyukainya, beliau pun meninggalkannya” (HR. Al Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).
Namun boleh mengabarkan tentang sifat makanan atau mengabarkan bahwa tidak suka makanan tertentu, tanpa ada makna celaan. Dari Khalid bin Walid radhiallahu’anhu, ia berkata:
أُتِيَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بضَبٍّ مَشْوِيٍّ، فأهْوَى إلَيْهِ لِيَأْكُلَ، فقِيلَ له: إنَّه ضَبٌّ، فأمْسَكَ يَدَهُ، فَقالَ خَالِدٌ: أحَرَامٌ هُوَ؟ قالَ: لَا، ولَكِنَّهُ لا يَكونُ بأَرْضِ قَوْمِي، فأجِدُنِي أعَافُهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan daging dhab (sejenis kadal gurun) yang telah dipanggang. Lalu beliau mengulurkan tangan untuk memakannya. Namun, seseorang memberitahukan kepadanya bahwa itu adalah daging dhab. Maka beliau menahan tangannya. Kemudian Khalid bertanya, “Apakah itu haram?” Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di tanah kaumku (kaum Quraisy), sehingga aku merasa tidak menyukainya’”” (HR. Al Bukhari no. 5537, Muslim no. 1946).
Dan dalam riwayat lain disebutkan,
هذا لحم لم آكله قط
“Ini adalah daging yang belum pernah aku makan sama sekali”.
An-Nawawi rahimahullah berkata,
وَأَمَّا حَدِيث تَرْك أَكْل الضَّبّ فَلَيْسَ هُوَ مِنْ عَيْب الطَّعَام إِنَّمَا هُوَ إِخْبَار بِأَنَّ هَذَا الطَّعَام الْخَاصّ لَا أَشْتَهِيه
“Adapun hadits Nabi shallallahu‘alaihi wasallam yang tidak memakan dhabb, bukan termasuk mencela makanan. Akan tetapi, perkataan itu hanyalah khabar (informasi) bahwa makanan tersebut tidak beliau sukai” (Syarh Shahih Muslim, 7/135)
Kelima: Tidak menyia-nyiakan makanan
Tabdzir atau menyia-nyiakan makanan hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan“.(QS. Al-Isra : 26-27).
Definisi tabdzir dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah,
التبذير إنفاق المال في غير حقِّه
“At Tabzir artinya membelanjakan harta tidak sesuai dengan hak (peruntukan) harta tersebut” (Al Jami li Ahkam Al Qur’an, 10/247).
Sebagian ulama menyatakan,
التبذير صرف الشيء فيما لا ينبغي
“At tabzir artinya menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak selayaknya digunakan” (At Ta’rifat, 24, Al Kuliyat, 113)
Maka membuang-buang makanan yang masih layak untuk dimakan ini termasuk tabdzir. Karena makanan tersebut masih dapat dimakan dan tidak selayaknya dibuang. Demikian juga tidak menghabiskan makanan padahal masih mungkin untuk dihabiskan, ini juga termasuk tabdzir.
Adapun jika makanan itu sudah tidak layak untuk dimakan atau membahayakan diri jika dimakan, maka tidak mengapa dibuang. Karena makanan demikian sudah selayaknya dibuang, sehingga tidak termasuk tabdzir.
Keenam: Mengambil makanan yang terjatuh
Hendaknya mengambil makanan yang terjatuh selama masih bisa diselamatkan. Karena membiarkan makanan yang terjatuh termasuk tadzir dan juga membiarkan makanan tersebut dimakan oleh setan.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu‘alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ ماَ كَانَ بِهَا مِنْ أَذَى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ.
“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan” (HR. Muslim no. 2033).
Dalam riwayat lain:
إنَّ الشَّيْطانَ يَحْضُرُ أحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شيءٍ مِن شَأْنِهِ، حتَّى يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعامِهِ، فإذا سَقَطَتْ مِن أحَدِكُمُ اللُّقْمَةُ، فَلْيُمِطْ ما كانَ بها مِن أذًى، ثُمَّ لِيَأْكُلْها، ولا يَدَعْها لِلشَّيْطانِ، فإذا فَرَغَ فَلْيَلْعَقْ أصابِعَهُ؛ فإنَّه لا يَدْرِي في أيِّ طَعامِهِ تَكُونُ البَرَكَةُ .
“Sesungguhnya setan itu hadir bersama salah seorang di antara kalian dalam setiap urusannya, bahkan saat makan. Maka, jika ada suapan makanan yang terjatuh dari salah seorang di antara kalian, hendaknya ia membersihkan kotorannya, lalu memakannya. Danmembiarkannya untuk setan. Dan setelah selesai, hendaklah ia menjilati jari-jarinya, karena dia tidak tahu di bagian makanan mana keberkahan itu berada.” (HR. Muslim no.2033).
Al Munawi rahimahullah menjelaskan: “Membiarkan makanan yang terjatuh dianggap oleh Nabi sebagai memberikannya kepada setan. Karena itu termasuk menyia-nyiakan nikmat, merendahkannya, dan meniru perilaku orang-orang yang hidup mewah. Penyebab utama seseorang enggan memakan makanan yang terjatuh biasanya adalah kesombongan, dan itu termasuk perbuatan setan … dan sebagian ulama memaknainya secara hakiki (yaitu benar-benar dimakan setan) sebagaimana pendapat Ibnu Arabi” (Faidhul Qadir, 1/299).
Ketujuh: Menyimpan makanan
Hendaknya makanan yang berlebih disimpan untuk dapat dimanfaatkan di waktu yang akan datang. Ini juga merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Disebutkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
فَكانَ يُعْطِي أَزْوَاجَهُ كُلَّ سَنَةٍ مِئَةَ وَسْقٍ، ثَمَانِينَ وَسْقًا مِن تَمْرٍ، وَعِشْرِينَ وَسْقًا مِن شَعِيرٍ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi nafkah setiap istrinya berupa makanan sebanyak 100 wasaq untuk satu tahun, terdiri dari 80 wasaq kurma dan 20 wasaq gandum” (HR. Muslim no. 1551).
Satu wasaq gandum sama dengan 60 sha. Jika kita asumsikan 1 sha sama dengan 2.5 kg, sehingga 20 wasaq sama dengan 20 x 60 x 2.5 kg = 3000 kg. Tentu makanan sebanyak ini disimpan sebagai persediaan selama 1 tahun.
Dari Aisyah radhiallahu’anha, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
فَكُلوا وادَّخِرُوا وتَصدَّقُوا
“Silakan makanlah (daging sembelihan tersebut), simpanlah dan bersedekahlah” (HR. Muslim no.1971).
Kedelapan: Menunggu makanan yang masih panas
Dianjurkan untuk menunggu makanan yang panas agar lebih dingin terlebih dahulu. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أبردوا بالطعامِ فإن الحارَّ لا بركةَ فيه
“Tunggulah makanan sampai dingin, karena makanan panas tidak ada keberkahan di dalamnya” (HR. Al Hakim, dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui Adz Dzahabi. Didhaifkan oleh sebagian ulama).
Dalam hadits ini terdapat perintah untuk menunggu makanan panas agar suhunya lebih dingin. Karena tentu makanan atau minuman yang masih panas akan berbahaya jika dimakan. Al Munawi rahimahullah mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini sifatnya anjuran, tidak sampai wajib. Dan memakan makanan atau meminum minuman yang panas hukumnya makruh, tidak sampai haram.
Di sisi lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai minuman yang dingin. Dari Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
كان أحبُّ الشرابِ إلى رسول الله صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : الحلوَ الباردَ
“Minuman yang paling disukai oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah yang manis dan dingin” (HR. At Tirmidzi no.1895, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kesembilan: Tidak meniup makanan
Tidak diperbolehkan meniup makanan atau minuman. Dari Abu Qatadah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا شَرِبَ أحَدُكُمْ فلا يَتَنَفَّسْ في الإنَاءِ
“Kalau kalian minum maka jangan bernafas di dalam bejananya” (HR. Bukhari no. 149, Muslim no. 3780).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata:
نهى أن يتنفس في الإناء أو ينفخ فيه
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang bernafas di dalam bejana atau meniupnya” (HR. Tirmidzi no. 1810, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.6820).
Dalam hadits kedua ini hanya disebutkan larangan meniup al ina-u (bejana) tanpa disebutkan tentang minum. Maka larangan ini mencakup makanan juga. Asy Syaukani mengatakan:
والإناء يشمل إناء الطعام والشراب، فلا ينفخ في الإناء ليذهب ما في الماء من قذارة ونحوها
“al ina-u (bejana) mencakup bejana untuk makanan juga minuman. Maka tidak boleh juga meniup makanan untuk menghilangkan kotoran di kuahnya atau semisalnya” (Nailul Authar, 8/221).
Hikmah dari larangan ini:
1. Mengajarkan sabar. Al Munawi rahimahullah mengatakan:
والنفخ في الطعام الحار يدل على العجلة الدالة على الشَّرَه وعدم الصبر وقلة المروءة
“Meniup makanan yang panas menunjukkan sikap terburu-buru dan menunjukkan akhlak yang buruk dan ketidak-sabaran serta kurangnya wibawa” (Faidhul Qadir, 6/346)
2. Agar lebih bersih, tidak terkena kotoran dari mulut. Asy Syaukani mengatakan:
فإنه لا يخلو النفخ غالباً من بزاق يستقذر منه
“Karena tiupan dari mulut itu umumnya mengandung ludah yang bisa mengotori makanan atau minuman” (Nailul Authar, 8/221).
Ibnu Hajar juga mengatakan:
وهذا النهي للتأدب لإرادة المبالغة في النظافة ، إذ قد يخرج مع النَّفَس بصاق أو مخاط أو بخار ردئ فيكسبه رائحة كريهة فيتقذر بها هو أو غيره من شربه
“Larangan ini dalam rangka mengajarkan adab agar tercapai kebersihan yang sempurna. Karena bersamaan dengan tiupan terkadang ada ludah, lendir atau uap kotor yang menyebabkan bau, sehingga bisa mengotorinya (makanan/minuman) atau mengotori yang lainnya” (Fathul Baari, 1/205).
3. Agar lebih berkah. Asy Syaukani mengatakan:
لا ينفخ في الإناء لتبريد الطعام الحار ، بل يصبر إلى أن يبرد ، ولا يأكله حاراً ، فإن البركة تذهب منه ، وهو شراب أهل النار
“Jangan meniup di bejana untuk mendinginkannya makanan panas. Namun hendaknya bersabar sampai dingin. Jangan dimakan ketika masih panas. Karena berkahnya akan hilang, dan minuman panas adalan minuman penduduk neraka” (Nailul Authar, 8/221).
Dibolehkan pakai cara lain untuk mendinginkan selain ditiup. Seperti yang diajarkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin:
لو كان الشراب حاراً ويحتاج إلى السرعة ، فرخص في هذا بعض العلماء، ولكن الأولى أن لا ينفخ حتى لو كان حاراً؛ إذا كان حاراً وعنده إناء آخر فإنه يصبه في الإناء ثم يعيده ثانية حتى يبرد
“Jika minuman panas dan butuh untuk segera diminum, sebagian ulama memberikan keringanan (untuk meniup). Namun yang utama hendaknya tidak ditiup walaupun panas. Jika ia punya bejana yang lain, maka tuangkan ke bejana tersebut kemudian kembalikan lagi ke bejana awal, terus hingga dingin” (Syarah Riyadhis Shalihin, hadits no. 766).
Kesepuluh: Berbagi makanan
Hendaknya kita menjadi orang yang gemar berbagi dan bersedekah makanan. Karena itu adalah sifat penduduk surga. Ketika Allah ta’ala menyebutkan sifat penduduk surga, di antaranya:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al Insan: 8).
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا. فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata baik, orang yang gemar memberi makanan, dan orang yang senantiasa berpuasa di siang hari dan gemar shalat pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur” (HR. At Tirmidzi, no. 1984. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Memberi makanan kepada orang lain juga merupakan amalan yang paling terbaik dalam Islam. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
“Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amalan Islam yang mana yang paling baik?’ Nabi bersabda, ‘Engkau memberi makan, dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (HR. Al Bukhari no. 12 dan Muslim no. 39).
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فُكُّوا الْعَانِىَ – يَعْنِى الأَسِيرَ – وَأَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ
“Bebaskanlah tahanan, berilah makan orang yang lapar, dan jenguklah orang sakit”(HR. Bukhari, no. 3046).
Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
وَإِذَا صَنَعْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا
“Jika engkau memasak daging yang berkuah maka perbanyak kuahnya …” (HR. Muslim no.648).
Maksudnya memperbanyak kuah adalah agar dapat memberikannya lebih banyak kepada orang lain.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik






Leave a comment