Kata Mu’tazilah berasal dari الاعتِزال (al-i’tizal), yang secara bahasa berarti: diambil dari kata اعتزَل (i’tazala) yang berarti: menjauh atau memisahkan diri. Hal ini seperti dalam firman Allah Ta’ala:

وَإِنْ لَمْ تُؤْمِنُوا لِي فَاعْتَزِلُونِ

“Dan jika kalian tidak beriman kepadaku maka menjauhlah dariku” (QS. Ad-Dukhan: 21).

Maka mu’tazilah secara bahasa adalah mereka yang memisahkan diri.

Secara istilah, Mu’tazilah adalah sebutan untuk sebuah kelompok menyimpang yang muncul pada awal abad ke-2 Hijriyah. Kelompok ini didirikan oleh Washil bin Atha’, ketika ia banyak berbicara tentang hukum pelaku dosa besar dan mengatakan bahwa pelaku dosa besar fil manzilah bayna manzilatain (berada di antara dua posisi), yaitu bukan mukmin dan bukan kafir. Ia menyatakan hal ini saat berada dalam majelis Hasan al-Bashri rahimahullah, seorang ulama besar tabi’in. Lalu akhirnya Washil bin Atha’ memisahkan diri dari majelis Hasan al-Bashri karena persoalan ini, sehingga sejak itu mereka disebut Mu’tazilah).

Setelah itu, keyakinan mereka berkembang, dan mereka memiliki lima prinsip terkenal (al-ushul al-khamsah), yaitu: at-tauhid, al-‘adl, manzilah bayna manzilatain, al-wa’d wal wa’id, serta amar ma’ruf nahi munkar. Kemudian, mereka terpecah menjadi beberapa kelompok, dan dikenal dengan sebutan ahlul ‘adl wa tawhid, dan juga diberi julukan al-qadariyyah, al-‘adliyyah, dan julukan lainnya.

Kemunculan Sekte Mu’tazilah

Para peneliti berbeda pendapat tentang waktu kemunculan sekte Mu’tazilah. Apakah Mu’tazilah muncul secara tiba-tiba dalam sejarah melalui peristiwa tertentu yang terjadi di majelisnya Hasan al-Bashri, ataukah ia merupakan perkembangan dari pemikiran-pemikiran yang berusaha melakukan pendekatan logika terhadap nash?

Mayoritas ulama dan sejarawan berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Washil bin Atha’, yang lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Ia adalah seseorang yang awalnya mengikuti majelis Hasan al-Bashri. Kemudian, muncul permasalahan yang menjadi perhatian pada masa itu, yaitu masalah hukum pelaku dosa besar, dan kisah pengunduran dirinya dari majelis Hasan al-Bashri yang sudah disebutkan sebelumnya.

Mu’tazilah dalam kitab-kitab mereka mengklaim bahwa mazhab mereka lebih awal dari masa Washil bin ‘Atha. Mereka menganggap banyak tokoh Ahlul Bait yang menjadi penganut mazhab mereka. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa pemikiran i’tizal merujuk kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu. Dan bahwa putranya, Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah, mengambil pemikiran ini dari Ali, kemudian Muhammad mewariskannya kepada putranya, Abu Hasyim, yang merupakan guru Washil bin Atha’.

Namun, klaim ini ditolak karena ternyata riwayat-riwayat yang menghubungkan pemikiran i’tizal dengan Ali bin Abi Thalib hanya ditemukan dalam kitab-kitab Mu’tazilah dan tidak memiliki sanad serta bukti yang kuat.

Pendapat yang diakui di kalangan peneliti adalah bahwa tokoh utama i’tizal adalah Washil bin Atha’. Dan ini terjadi antara tahun 105 H hingga 110 H di Basrah, sebagai hasil perdebatan tentang hukum pelaku dosa besar. Kemudian, Washil keluar dengan pendapatnya yang berbeda dari gurunya, Hasan al-Bashri. Setelah itu, ia menambahkan pendapat-pendapat lain terkait pelaku dosa besar yang kemudian menjadi prinsip-prinsip Mu’tazilah. Setiap ulama dari kalangan mereka menambahkan pandangan baru hingga terbentuklah kelompok ini, yang juga dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Jahmiyah.

Perkembangan Sekte Mu’tazilah

Tahap pertama: akidah Qadariyah dalam Mu’tazilah
Tahap ini merupakan perpanjangan dari sekte Qadariyah awal yang muncul pada akhir abad pertama Hijriyah (sekitar tahun 63 H), yaitu pemikiran Qadariyah dari Ma’bad al-Juhani (wafat 80 H). Kemudian pemikiran Qadariyah dari Ghailan al-Dimasyqi (wafat 105 H). Mu’tazilah menjadi pewaris pemikiran ini, sehingga istilah Qadariyah kemudian digunakan untuk menyebut Mu’tazilah itu sendiri.

Tahap kedua: prinsip-prinsip baru yang dimunculkan oleh Mu’tazilah terkait hukum pelaku dosa besar
Tahap ini mencakup konsep yang mereka sebut sebagai al-manzilah baina al-manzilatain dan berbagai pandangan serta hukum yang merupakan turunan darinya. Konsep ini muncul pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2 Hijriyah, dengan kisahnya yang terjadi di akhir masa hidup Hasan al-Basri (wafat 110 H). Pada tahapan ini mereka dikenal luas dengan sebutan Mu’tazilah.

Tahap ketiga: Kesepakatan dengan Jahmiyah dalam beberapa prinsip
Tahapan ini berkaitan dengan terbentuknya akidah mereka seputar sifat-sifat Allah dan masalah gaib, yang mana Mu’tazilah cenderung melakukan ta’thil (menolak sifat) dan ta’wil (memalingkan makna ayat) dalam masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini, Mu’tazilah mengikuti Jahmiyah, karena mereka mengadopsi prinsip-prinsip Jahmiyah dalam menolak sifat-sifat Allah. Pemikiran Jahmiyah dalam menolak sifat-sifat muncul melalui lisan Ja’d bin Dirham (yang dibunuh sekitar tahun 118 H), yang terjadi setelah kemunculan pemikiran Mu’tazilah.

Prinsip al-ushul al-khamsah yang terkenal dari Mu’tazilah belum terlihat jelas pada awal kemunculannya, meskipun akarnya sudah ada. Namun, seiring perkembangan pandangan mereka, prinsip-prinsip tersebut menjadi semakin jelas hingga menjadi prinsip-prinsip yang secara umum disepakati di antara mereka.

Batilnya Klaim Mu’tazilah

Beberapa orientalis mencoba menghubungkan sikap mengasingkan diri dari beberapa sahabat Nabi dari peristiwa fitnah pertama (perang Jamal dan perang Shiffin), dengan istilah mu’tazilah, yang muncul pada awal abad kedua Hijriyah. Lalu sekte Mu’tazilah menggunakan perkataan sejarawan tersebut sebagai bukti adanya ajaran i’tizal sejak lama. Dan bahwa pemisahan diri Washil adalah kelanjutan dari sikap para sahabat Nabi yang mengasingkan diri dari fitnah. Memang demikian, setiap bid’ah dan kesesatan biasanya mencoba untuk mencatut nama tokoh-tokoh mulia dalam umat ini untuk memperindah citranya dan agar bisa diterima.

Salah satu teks yang mereka gunakan sebagai landasan adalah perkataan al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu’anhu kepada Amr bin al-‘Ash radhiallahu’anhu:

يا أبا عبدِ اللهِ، أخبِرْني عمَّا أسألُك عنه: كيف ترانا مَعشَرَ المُعتَزِلةِ؟ فإنَّا قد شكَكْنا في الأمرِ الذي تبيَّن لكم مِن هذا القتالِ، ورأينا أن نستأنيَ ونتثبَّتَ حتَّى تجتمِعَ الأمَّةُ ,قال: (أراكم مَعشَرَ المُعتَزِلةِ خَلْفَ الأبرارِ، وأمامَ الفُجَّارِ)

“Wahai Abu Abdillah, ceritakan padaku tentang apa yang aku tanyakan kepadamu: bagaimana pendapatmu tentang kami, golongan yang mengasingkan diri (al-mu’tazilah)? Kami telah ragu tentang urusan ini, yang itu telah jelas bagimu dalam peperangan ini. Namun kami memutuskan untuk menunggu dan konsisten dengan sikap ini, hingga umat ini bersatu”. Amr bin al-Ash menjawab, “Wahai golongan al-Mu’tazilah, menurutku kalian berada di belakang orang-orang baik dan di depan orang-orang jahat” (Diriwayatkan Abdurrazaq dalam Al Mushannaf [9770], Ath Thabari dalam At Tarikh [3/105]).

Padahal istilah “i’tizal” di sini maknanya telah ma’ruf, yaitu menahan diri dan tidak ikut serta dalam peperangan. Istilah ini tidak mengacu pada kelompok tertentu yang memiliki pemikiran atau akidah tertentu. Dan tidak ada sejarawan yang menyatakan hal tersebut, baik ath-Thabari, Ibnu Katsir, maupun sejarawan lain dari kalangan Ahlussunnah.

Di antara yang sering mengulang-ulang klaim ini adalah beberapa penulis Syiah, seperti al-Nawbakhti. Setelah menyebutkan sikap para sahabat terhadap kekhalifahan Ali radhiallahu’anhu, ia berkata: “Dan ada sekelompok yang mengasingkan diri bersama Sa’ad bin Malik (yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash), Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah al-Anshari, dan Usamah bin Zaid bin Haritsah al-Kalbi, bekas budak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. dan keluarganya; mereka ini mengasingkan diri dari Ali radhiallahu’anhu, menolak berperang melawan atau bersamanya setelah masuk dalam baiatnya dan menerima kepemimpinannya. Maka mereka disebut ‘al-mu’tazilah’ dan menjadi pendahulu bagi kaum al-Mu’tazilah hingga akhir zaman. Mereka berkata: ‘Tidak halal memerangi Ali, dan tidak halal pula berperang bersamanya’. Beberapa ahli ilmu menyebutkan bahwa al-Ahnaf bin Qais al-Tamimi mengasingkan diri setelah itu bersama kaumnya dari Bani Tamim, bukan karena keyakinan terhadap i’tizal, tetapi untuk menghindari pembunuhan dan menjaga keselamatan harta, bukan karena agama. Ia berkata kepada kaumnya: ‘Jauhkanlah diri kalian dari fitnah, itu lebih baik bagi kalian’” (Firaq asy-Syi’ah, hal.17).

Para orientalis membangun klaim ini untuk mencapai tujuan mereka, yaitu mengaitkan bid’ah yang sesat ini dengan para sahabat Nabi. Orientalis seperti Nelinlow mengumpulkan teks-teks seperti ini untuk menyimpulkan pendapatnya: “Dengan demikian, ini adalah bukti yang menunjukkan penggunaan istilah i’tizal dalam makna politik di zaman ketika para pendiri mazhab Mu’tazilah hidup. Kita bisa mengamati, dengan banyak kemungkinan, bahwa pemikiran yang kemudian diadopsi oleh para ulama Mu’tazilah pada diri mereka sendiri sebenarnya merujuk pada kelompok Mu’tazilah Siyasi, yaitu mereka yang menahan diri untuk tidak ikut serta dalam perselisihan internal pada abad pertama dan awal abad kedua”.

Kemudian, seorang filsuf eksistensialis, Abdurrahman Badawi, memberikan menambahkan: “Dari semua bukti ini, tampak jelas bagi saya bahwa ketika masalah ini mendapatkan perhatian penting karena adanya perselisihan politik dan perang saudara di abad pertama, maka wajar jika nama Mu’tazilah diambil dari bahasa politik pada masa itu. Maka, para ulama Mu’tazilah baru merupakan kelanjutan dari pemikiran dan pandangan Mu’tazilah Siyasi” (At Turats Al Yunani fi Hadharah Al Islamiyah, hal. 190).

Upaya untuk menghubungkan antara pemkiran Mu’tazilah dengan pengasingan diri para sahabat Nabi dari fitnah tersebut tidaklah benar. Karena para sahabat yang mengasingkan diri dari peristiwa fitnah tidak terlibat sama sekali dalam kemunculan akidah Mu’tazilah yang diada-adakan oleh kalangan Mu’tazilah belakangan. Pengasingan mereka semata-mata demi menjaga darah umat agar tidak tertumpah. Dan tidak melebar sampai menimbulkan pemikiran atau akidah baru yang memecah belah umat serta bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.

Selain itu, para ulama sekte Mu’tazilah tidak menganggap para sahabat Nabi yang menahan diri perang saudara sebagai pendahulu mereka. Yang mengaitkan mereka adalah sejarawan Syiah, para orientalis, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Faktanya, sikap Washil bin ‘Atha dan Amr bin Ubaid terhadap peristiwa fitnah perang saudara bukanlah sikap yang netral, seperti yang dilakukan oleh para sahabat yang mengasingkan diri. Namun Washil bin ‘Atha dan Amr bin Ubaid mencela kedua pihak yang bertikai.

Washil mengatakan:

إنَّ فِرقةً مِن الفَريقَينِ فَسَقةٌ بأعيانِهم

“Sesungguhnya salah satu kedua pihak yang bertikai itu adalah orang-orang fasik”.

Maka ia menganggap ada kemungkinan kefasikan ada di pihak Ali dan pengikutnya, seperti Hasan, Husain, Ibnu Abbas, Ammar bin Yasir, Abu Ayyub al-Anshari, dan semua yang bersama Ali di Perang Jamal. Dan ada kemungkinan kefasikan ada di pihak yang berseberangan dengan Ali, yaitu Aisyah, Thalhah, Zubair, dan semua sahabat yang berperang di perang Jamal. Lalu dalam penjelasannya, Washil berkata:

لو شهِد عليٌّ وطَلحةُ، أو عليٌّ والزُّبَيرُ، أو رجُلٌ مِن أصحابِ عليٍّ، ورجُلٌ مِن أصحابِ الجَملِ عندي على باقةِ بَقلٍ، لم أحكُمْ بشهادتِهما؛ لعِلمي بأنَّ أحدَهما فاسِقٌ لا بعَينِه

“Jika Ali dan Thalhah, atau Ali dan Zubair, atau seorang dari pengikut Ali dan seorang dari pengikut Aisyah bersaksi di hadapanku tentang satu ikat sayuran yang dicuri, sungguh aku tidak akan menerimanya! Karena aku tahu salah satu dari mereka adalah fasik meskipun aku tidak memastikan siapa” (Al Farqu baynal Firaq, hal.100).

Amr bin Ubaid bahkan lebih para dari pada Washil, dengan menyatakan bahwa kedua pihak yang bertikai di Jamal adalah orang-orang fasik. Washil hanya menolak kesaksian salah satu dari dua orang, yang satu dari pengikut Aisyah dan yang satu dari pengikut Ali. Sedangkan Amr menganggap bahwa kesaksian mereka tidak diterima sama sekali.

Jadi, dimana posisi i’tizal (pengasingan diri) yang diklaim oleh Syiah, orientalis, dan pengikut mereka ini? Apakah orang yang menyatakan hal seperti ini tentang para sahabat Nabi dianggap menjadikan para sahabat Nabi sebagai pendahulunya? Padahal mereka adalah orang-orang yang memiliki janji terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk tidak terlibat dalam fitnah. Namun, Washil dan Amr justru mengumbar celaan kepada mayoritas sahabat yang diridhai Allah dan mereka pun ridha kepada-Nya.

Kemudian Ibnu al-Murtadha, seorang tokoh Zaidiyah Mu’tazilah, ketika menyusun thabaqah (tingkatan) ulama Mu’tazilah, ia menempatkan para khulafa ar-rasyidin, Abdullah bin Abbas, Ibnu Mas’ud, dan sahabat lainnya pada thabaqah pertama. Kemudian, ia mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib secara tegas menyatakan prinsip al-‘adl, yaitu menolak takdir. Demikian juga Abu Bakar dan Ibnu Mas’ud. Ibnu al-Murtadha juga mengutip riwayat-riwayat yang palsu tentang Umar, Utsman, Ibnu Abbas, dan Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhum tentang masalah ini (Al Muniyyah wal ‘Amal, hal.22- 26).

Mereka mengklaim bahwa para sahabat tersebut adalah tokoh pendahulu ajaran Mu’tazilah dan Qadariyah, untuk mempromosikan akidah-akidah rusak mereka. Padahal realitanya akidah Qadariyah telah dibantah terang-terangan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma. Para ulama tabi’in pun telah melaknat kaum Qadariyah dan penyimpangan mereka. Sehingga semua klaim tersebut hanyalah kebohongan atas nama generasi salaf radhiallahu’anhum tanpa bukti atau hujjah. Dan sebagian riwayat yang mereka sebutkan adalah riwayat palsu, dan maknanya pun tidak sesuai dengan kenyataan.


Diterjemahkan dari:

Mausu’atul Firaq Durar As Saniyah, dibawah bimbingan Syaikh Alwi bin Abdulqadir As Saqqaf.

Umroh Keluarga Bahagia Di Awal Ramadhan Bersama Ustadz Yulian Purnama

Program “Umroh Keluarga Bahagia” adalah program umroh yang dirancang untuk jamaah yang berumrah bersama keluarga beserta anak-anaknya. Kami siapkan acara-acara menarik selama perjalanan di tanah suci.Hotel sangat dekat dengan Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, free kereta cepat Madinah-Makkah, bersama Batik Travel di bulan Februari 2026. Dibimbing oleh Ustadz Yulian Purnama –hafizhahullah

Paket 9 Hari, berangkat: 16 Februari 2026

📲 Tanya-tanya dulu juga boleh! 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Fawaid Kangaswad adalah platform dakwah sunnah melalui website fawaidkangaswad.id dan beberapa kanal di media sosial seperti whatsapp, telegram, instagram dan twitter.

Fawaid Kangaswad juga mengelola Ma’had Fawaid Kangaswad, yaitu program belajar Islam berbasis kitab kuning karya para ulama Ahlussunnah, melalui media grup Whatsapp.

Fawaid Kangaswad juga menyebarkan buku-buku serta e-book bermanfaat secara gratis.

Dukung operasional kami melalui:

https://trakteer.id/kangaswad
(transfer bank, QRIS, OVO, Gopay, ShopeePay, Dana, LinkAja, dll)

Atau melalui:

Bank Mandiri 1370023156371 a/n Yulian Purnama

Semoga menjadi pahala jariyah.

Trending