Tempat-Tempat Penting Dalam Sejarah Mu’tazilah

Para peneliti hampir sepakat bahwa tempat pertama munculnya kaum Mu’tazilah adalah di Bashrah, Irak. Al-Malathi berkata:

بالبَصرةِ أوَّلُ ظُهورِ الاعتِزالِ؛ لأنَّ أبا حُذَيفةَ ‌واصِلَ ‌بنَ عطاءٍ جاء به مِن المدينةِ

“Di Basrah, awal kemunculan aliran Mu’tazilah, karena Abu Hudzaifah Washil bin Atha’ membawanya dari Madinah” (At Tanbih war Radd ‘ala Ahlil Ahwa’ wal Bida’, hal. 38).

Namun, pernyataan Al Malathi bahwa Washil membawa ajaran Mu’tazilah dari Madinah ke Basrah disangkal oleh sebagian ulama. Dengan alasan bahwa mungkin dia mendasari pernyataannya pada adanya kelompok Mu’tazilah Siyasi dan orang-orang yang zuhud di Madinah. Ini tidak benar, karena mereka tidak memiliki hubungan dengan pemikiran Mu’tazilah. Bahkan jika teori tersebut diterima, bahwa Washil membawa pemikiran Mu’tazilah dari Madinah, dari siapa ia mengambil ajaran tersebut di Madinah? Hal ini perlu dibuktikan, dan hal itu tidak dijelaskan. Selain itu, Washil adalah murid al-Hasan al-Basri, dan ia dididik di bawah bimbingannya serta tidak meninggalkannya kecuali ketika ia berbeda pendapat dalam masalah pelaku dosa besar, sampai al-Hasan mengeluarkannya dari majelisnya (Mu’tazilah wal Ushuluhum Al Khamsah, hal. 29).

Namun, dapat dikatakan bahwa Washil memiliki wawasan tentang berbagai aliran dan sekte sebelum kedatangannya di Basrah dan di majelis al-Hasan al-Basri. Bisa jadi dia bergaul dengan beberapa pengikutnya selama tinggal di Madinah. Hal ini diisyaratkan dalam pernyataan Ibnul Murtadha (tokoh Mu’tazilah): “Washil senantiasa menghadiri majelis al-Hasan, sehingga mereka mengira dia bisu karena lama diamnya. Suatu hari, ia melewati ‘Amr bin Ubaid. Dan beberapa pengagum Washil berkata kepada ‘Amr bin Ubaid: “Inilah orang yang kalian anggap bisu, tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui ucapan Syiah ekstrem, Khawarij yang menyimpang, serta ucapan para zindiq, Dahriyyah, Murji’ah, dan penentang lainnya, serta bantahan terhadap mereka, melebihi dia”. Amr bertanya: “Bagaimana bisa? Dia punya leher yang tidak membawa kebaikan”. Washil memang berleher panjang. Kemudian berselang waktu, ‘Amr akhirnya berkata: “Aku bersaksi bahwa firasat itu tidak ada, kecuali jika ada orang yang melihat dengan cahaya Allah (yaitu Washil bin ‘Atha)”(Al Muniyyah wal ‘Amal, hal. 34).

Nashwan al-Himyari berkata: “Washil bin Atha’ berasal dari penduduk Madinah. Dia diasuh dan diajar oleh Muhammad bin al-Hanafiyyah, dan belajar bersama putranya, Abu Hasyim, di kuttab. Setelah kematian ayahnya, Washil berteman lama dengan Abu Hasyim. Diceritakan dari sebagian ulama bahwa seseorang bertanya kepadanya: “Bagaimana pengetahuan Muhammad bin Ali?” Dia menjawab: “Jika kamu ingin mengetahui hal itu, lihatlah pengaruhnya pada Washil”. Kemudian Washil pindah ke Basrah dan berguru kepada al-Hasan bin al-Basri” (Al Hurul ‘In, 206).

Maka, kisah Amr bin Ubaid yang disebutkan oleh Ibnul Murtadha, serta apa yang diriwayatkan oleh al-Himyari, menunjukkan bahwa Washil sudah memiliki pengetahuan sebelum kedatangannya di majelis al-Hasan al-Bashri. Ia telah memahami berbagai mazhab dan pemikiran, serta memiliki pandangannya sendiri. Ketika tiba di Basrah, ia mulai mengajak kepada ajaran Mu’tazilah dan menarik pengikut serta pendukung setelah peristiwa yang terjadi terkait hukum pelaku dosa besar. Wallahu a’lam.

Kemudian pemikiran Mu’tazilah menyebar luas dan menjadi memiliki banyak madrasah serta beragam firqah (sekte). Al-Syahrastani menyebutkan bahwa terdapat 12 sekte di antara mereka, sedangkan al-Baghdadi menghitungnya dan mengetakan bahwa mereka ada 20 sekte.

Metode Penyebaran Pemikiran Mu’tazilah

1. Mempengaruhi Khalifah

Kaum Mu’tazilah menyadari titik kelemahan yang ada pada kelompok-kelompok bid’ah sebelumnya yang mengalami penindasan dari para khalifah Bani Umayyah, yang mengejar mereka sehingga dihukum mati atau dan diusir. Oleh karena itu, mereka memahami bahwa mereka tidak akan bertahan kecuali jika mereka memiliki kekuatan besar yang mendukung dan memperkuat posisi mereka. Mereka pun berusaha untuk mendapatkan dukungan dari penguasa dan menarik perhatian penguasa. Dengan demikian, mereka dapat hidup dengan aman dan menyebarkan pandangan mereka tanpa rasa takut. Hal ini berhasil mereka capai setelah perjuangan panjang yang berlangsung hampir satu abad. Maka, mereka mulai menjaring para khalifah.

Ketika era khalifah Harun ar-Rasyid dimulai, dikatakan bahwa beliau mendekati beberapa tokoh Mu’tazilah. Karena Tsumamah bin Asyras (tokoh Mu’tazilah) tiba di Baghdad, dia pun menjalin hubungan dengan Harun ar-Rasyid (Tarikh Baghdad, 8/20).

Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi (tokoh Mu’tazilah) juga menjalin hubungan dengan Harun ar-Rasyid dan menjadi pengajar bagi putranya, yang bernama al-Ma’mun (Tarikh Baghdad, 14/146). Meskipun demikian, kaum Mu’tazilah tidak berani menyebarkan ajaran mereka secara terbuka dan mengumumkan pandangan mereka. Karena Harun ar-Rasyid sangat tegas dalam urusan agama. Meskipun begitu, kontribusi yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah pada masa Harun ar-Rasyid sangat penting bagi masa depan mereka.

Selama kekhalifahan Muhammad al-Amin bin Harun ar-Rasyid, pengaruh mereka menyusut, karena Muhammad al-Amin lebih keras daripada ayahnya dalam urusan agama.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan tentang khalifah al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid: “Majelis Al Ma’mun dikuasai oleh tokoh-tokoh Jahmiyah (Mu’tazilah), yang sebelumnya diasingkan oleh ayahnya, Harun ar-Rasyid, yang mengejar mereka untuk dipenjara dan dihukum mati. Mereka menanamkan bid’ah Jahmiyah di telinganya dan hatinya al-Ma’mun. Sehingga dia menerimanya, menyukainya, dan mendakwahkan orang kepadanya serta menghukum mereka yang menolak. Namun, kekuasaannya tidak berlangsung lama. Dan setelahnya kekuasaan berpindah ke Muhammad al-Mu’tasim bin Harun ar-Rasyid. Dialah yang menghukum Imam Ahmad bin Hanbal, melanjutkan dakwah Jahmiyah, dan didukung oleh tokoh-tokoh Jahmiyah yang memuji tindakannya. Dan mereka menyampaikan kepada al-Mu’tashim bahwa itu adalah bentuk mensucikan Allah dari tasybih, tamtsil, dan tajsim. Mereka yang berada di lingkaran khalifah dan dekat dengan majelisnya, serta para qadhi dan pejabatnya, semua pemikiran khalifah mereka.

Namun, mereka tidak berani secara terang-terangan meninggalkan dalil dan mengedepankan pendapat pribadi dan akal daripada dalil. Karena Islam masih dalam keadaan kuat dan ilmu hadis terus berkembang, serta ulama-ulama Ahlussunnah masih kuat di permukaan. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha mendekati para ulama, serta memaksa orang dengan iming-iming hadiah atau ancaman. Di antara ulama ada yang dibutakan hatinya dan mengikuti pemikiran Jahmiyah. Ada di antara mereka ada yang terpaksa menyerahkan diri dengan melakukan apa yang diminta oleh Jahmiyah, namun hatinya tetap tenang dengan keimanan. Dan Allah meneguhkan sebagian ulama yang hatinya kuat dalam beragamanya lebih kuat dari batu dan lebih keras dari besi. Allah jadikan mereka sebagai para pemimpin dalam agama yang diikuti oleh orang-orang beriman karena kesabaran mereka dan keyakinan mereka pada ayat-ayat Allah. Karena dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam beragama dicapai. Allah Ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآياتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar, dan mereka yakin kepada ayat-ayat Kami” (QS. as-Sajdah: 24).

Mereka bersabar menghadapi penganiayaan dari Jahmiyah. Mereka tidak meninggalkan sunnah Rasulullah karena godaan nikmat dunia atau ancaman hukuman. Kemudian Allah memadamkan fitnah itu dengan rahmat-Nya, menghentikan pemikiran sesat tersebut, memenangkan sunnah dengan kemenangan yang mulia, dan membuka jalan bagi pengikut sunnah dengan kemenangan yang nyata” (as-Shawa’iqul Mursalah, 3/1072 – 1074).

Tidak diragukan lagi bahwa salah satu tindakan terburuk yang mereka lakukan melalui kekuatan penguasa dan para khalifah adalah membunuh atau memerangi para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, serta memaksa mereka untuk menerima sebagian keyakinan mereka. Al-Isfira’ini berkata tentang Tsumamah bin al-Asyras :

كان مِن شدَّةِ عداوتِه لأهلِ السُّنَّةِ أنَّه أغرى الواثِقَ بأحمَدَ بنِ نَصرٍ المروَزيِّ السُّنِّيِّ الخُزاعيِّ لأجْلِ أنَّه كان يطعَنُ على القَدَريَّةِ

“Karena kebencian yang sangat besar terhadap Ahlussunnah, ia mendorong al-Watsiq untuk menyerang Ahmad bin Nashr al-Marwazi as-Sunni al-Khuza’i karena ia mencela paham Qadariyah” (at-Tabshir fid Din, hal. 80).

2. Kefasihan Bahasa Dan Perdebatan

Kaum Mu’tazilah terkenal dengan kefasihan bahasanya. Di antara mereka terdapat para orator ulung dan ahli debat yang sangat berpengalaman. Mereka menguasai berbagai macam teknik debat, mengetahui berbagai cara untuk mengalahkan lawan debat, dan mengalihkan pembicaraan sesuai keinginan mereka. Mereka memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang sastra dan bahasa, bagaikan pakaian indah yang menipu dan memikat orang. Mereka menggabungkan ilmu kalam dengan ilmu debat, yang secara alami akan mengarah pada perdebatan, perselisihan, dan banyaknya pembahasan. Di antara tokoh-tokoh mereka yang terkenal dalam bidang ini adalah Abu Ali al-Jubba’i, Ibrahim bin Sayyar al-Nazham, Abu al-Hudzail al-‘Allaf, Ibnu Abi Du’ad, Abu ‘Amr al-Jahiz, dan Washil bin ‘Ata’, serta banyak lagi yang lainnya. Tidak ada satu pun generasi kaum Mu’tazilah yang tidak memiliki seorang pun orator yang fasih (Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah, hal.132).

3. Pengiriman Para Da’i Mu’tazilah Ke Berbagai Negeri

Kaum Mu’tazilah aktif mengirimkan para dai untuk menyebarkan dan mempromosikan mazhab mereka, seperti yang dilakukan oleh Washil bin ‘Ata’. Ibnul Murtadha (tokoh Mu’tazilah) berkata tentangnya, “Sedemikian rupa pengaruh dan tindakannya sehingga ia mengirimkan para pengikutnya ke berbagai penjuru dan menyebarkan para dai-nya ke berbagai negeri. Abu al-Hudzail berkata, “Ia mengirim Abdullah bin al-Harits ke Maghrib (Maroko), dan banyak orang menyambutnya. Ia juga mengirim Hafsh bin Salim ke Khurasan. Lalu ia masuk ke Tirmidz dan selalu berada di masjid hingga akhirnya populer. Kemudian ia berdebat dengan Jahm bin Shafwan dan berhasil mengalahkannya dalam debat. Hingga Jahm rujuk kepada pendapat Ahlul Haq. Ketika Hafsh kembali ke Bashrah, Jahm kembali ke pendapatnya yang batil. Ia juga mengirim al-Qasim ke Yaman, Ayyub ke al-Jazirah, al-Hasan bin Dzakwan ke Kufah, dan Utsman al-Thawil ke Armenia” (Al Muniyyah wal Amal, hal. 35).

4. Menampakkan Diri Sebagai Pengikut Al Qur’an Dan As Sunnah

Mereka mengklaim bahwa mazhab mereka adalah kebenaran sejati, sesuai dengan mazhab para salafus shalih yang berdasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Serta sesuai dengan tuntutan akal dan bukti-bukti nyata, meskipun bertentangan dengan kebiasaan dan tradisi.

Qadhi Abdul Jabbar (tokoh Mu’tazilah) menyebutkan bahwa Raja Khawarizim Syah (Raja Alauddin Muhammad II) meminta dia untuk menulis sebuah buku yang mengukuhkan pemikiran ini. Abdul Jabbar berkata, “…Semoga Allah menjaga kemuliaannya. Beliau ingin saya menulis sebuah buku yang menjelaskan bahwa mazhab Mu’tazilah adalah yang paling sesuai dengan akal, Al-Qur’an, dan Sunnah, serta merupakan mazhab yang telah diikuti oleh para pendahulu dan generasi setelahnya. Karena pendapat tentang tasybih, jabr dalam masalah takdir, dan berbagai mazhab batil lainnya adalah hal yang baru yang muncul dari orang-orang yang tidak berilmu. Kemudian hal itu menjadi luas karena tradisi dan mengikuti mayoritas. Maka saya melihat penting untuk segera menulis ini agar sang pemimpin yang adil, semoga Allah memanjangkan umurnya dan menjaga kedudukannya, mengetahui bahwa apa yang ia pegang teguh adalah sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para imam. Dan bahwa siapa saja yang menyelisihinya maka ia telah menyelisihi mereka. Dan agar beliau merasa tenang karena banyaknya ulama yang sependapat dengannya” (Fadhul I’tizal wa Thabaqatul Mu’tazilah, hal.86).

5. Memanfaatkan perselisihan yang terjadi di antara kaum Muslimin

Sangat terlihat dari kaum Mu’tazilah bahwa mereka memanfaatkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah akidah di antara umat Islam dan menjadikannya sarana untuk menonjolkan pemikiran serta pandangan Mu’tazilah. Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam kisah Washil bin Atha’ di majelis al-Hasan al-Bashri, serta dalam perselisihan terkait kekhalifahan dan lainnya. Kemudian perbedaan di antara berbagai golongan Islam semakin besar, perdebatan memanas, dan diadakanlah majelis-majelis debat di masjid-masjid Basrah dan tempat lainnya. Dalam suasana seperti itulah kaum Mu’tazilah muncul (Mu’tazilah wal Ushuluhum Al Khamsah, hal. 31).

Kaum Mu’tazilah berusaha tampil dengan mengemukakan pendapat mereka tentang perselisihan yang terjadi serta menawarkan solusi, dan mereka mengira bahwa solusi-solusi tersebut akan diterima. Namun, kenyataannya justru sebaliknya; mereka justru menambah masalah semakin rumit. Mereka membuat kebid’ahan dalam akidah, serta pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Hal ini membuat ulama kaum Muslimin semakin sibuk mengatasi bid’ah-bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang tersebut serta memberikan bantahan terhadapnya (Mu’tazilah wal Ushuluhum Al Khamsah, hal. 33).

6. Mereka banyak melakukan bantahan terhadap agama lain

Ibnu Hazm mengatakan, “Bangsa Persia memiliki kekuasaan yang luas, kekuatan yang melebihi bangsa-bangsa lain, dan merasa diri mereka sangat mulia hingga mereka menyebut diri mereka sebagai al-ahrar (kaum yang merdeka) dan al-abna’ (para bangsawan). Sementara mereka menganggap semua orang lain sebagai budak mereka. Ketika mereka diuji dengan jatuhnya kekuasaan di tangan bangsa Arab, yang dipandang oleh bangsa Persia sebagai bangsa yang paling rendah, mereka merasa sangat terhina dan derita mereka semakin bertambah. Mereka berusaha merencanakan tipu muslihat terhadap Islam dengan melakukan peperangan pada berbagai kesempatan. Namun dalam semua peristiwa tersebut, Allah ta’ala selalu memenangkan al-haq … Maka mereka (Persia) menyadari bahwa tipu daya yang berbasis pada muslihat lebih efektif, sehingga sekelompok dari mereka menampakkan diri sebagai Muslim, menarik simpati kaum Syiah dengan menunjukkan kecintaan kepada Ahlul Bait Rasulullah dan mengekspresikan kebencian terhadap kezaliman terhadap Ali radhiallahu’anhu. Kemudian mereka menjerumuskan kaum Syiah ke dalam berbagai jalan yang akhirnya menjauhkan mereka dari Islam.

Jalan ini juga ditempuh oleh Abdullah bin Saba’ al-Himyari, seorang Yahudi -semoga Allah melaknatnya-, yang menampakkan diri sebagai Muslim untuk merencanakan tipu daya terhadap kaum Muslimin. Ia adalah tokoh utama yang memicu pemberontakan terhadap Utsman radhiallahu’anhu. Dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu membakar beberapa golongan fanatikusnya yang meyakini Ali sebagai tuhan. Dari akar-akar terkutuk inilah muncul sekte Ismailiyah dan Qaramitah, dua kelompok yang secara terbuka meninggalkan Islam secara keseluruhan dan menganut ajaran Majusi murni (Al Fashl fil Milal, 2/91).

Semua itu mengakibatkan munculnya beberapa kelompok seperti Syiah Rafidhah. Serta munculnya beberapa gerakan akidah yang menentang Islam seperti kaum zindiq dan Rawandiyah. Gerakan-gerakan ini bertujuan menggoyahkan akidah Islam dalam hati kaum Muslimin, membuat mereka ragu terhadap agama mereka, dan merusak citra Islam di hadapan bangsa-bangsa lain yang bertetangga dengan kaum Muslimin.

Diketahui bahwa kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan ini membawa berbagai syubhat untuk menguatkan akidah mereka. Untuk membantah syubhat-syubhat tersebut, sebagian orang memandang perlu diadakan perdebatan dan perlu mendalami ilmu kalam yang dipahami oleh kaum Mu’tazilah dan telah mereka geluti. Perdebatan-perdebatan semacam ini meningkatkan kedudukan kaum Mu’tazilah dan memberi mereka sedikit ketenaran serta popularitas (Mu’tazilah wal Ushuluhum Al Khamsah, hal. 44).

Kaum Mu’tazilah mulai menghadapi kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan tersebut sejak awal kemunculan mereka. Mu’tazilah menulis kitab-kitab untuk membantah pendapat kelompok-kelompok tersebut. Dan banyak perdebatan diadakan dengan bangsa Persia. Orang pertama dari mereka yang melakukannya adalah pemimpin Mu’tazilah, Washil bin Atha’. Diriwayatkan dari istrinya bahwa ketika malam tiba, ia shalat malam, sementara sebuah papan tulis dan tinta diletakkan di hadapannya. Jika ia melewati ayat yang mengandung hujjah terhadap lawan debat, ia lalu duduk dan menulisnya, lalu kembali melanjutkan shalatnya.

Amr al-Bahili mengatakan:

قرأْتُ لواصِلٍ الجُزءَ الأوَّلَ مِن كتابِ “الألفُ مسألةٍ في الرَّدِّ على المانَويَّةِ

“Aku membaca bagian pertama dari kitab Washil yang berjudul Alfu Mas’alah fir Raddi ‘alal Manuwiyah (Seribu Persoalan Untuk Membantah Sekte Manuwiyah)“.

Dan dia menambahkan, “Aku menghitung pembahasan dalam kitab tersebut, yaitu ada delapan puluh sekian pembahasan” (Al Muniyyah wal ‘Amal, hal. 37).

Ibnul Murtadha (tokoh Mu’tazilah) berkata:

يُقالُ: إنَّه فرَغ مِن الرَّدِّ على مُخالِفيه وهو ابنُ ثلاثينَ سنةً

“Disebutkan bahwa Washil menyelesaikan penulisan bantahan terhadap para penentangnya ketika berusia 30 tahun” (Al Muniyyah wal ‘Amal, hal. 37).

Demikian pula murid-murid Washil yang mengikuti langkahnya dalam membantah para penentang mereka. Ini termasuk Amr bin Ubaid yang berdebat dengan Jarir bin Hazim al-Azdi as-Sumani di Basrah. Begitu juga Abu al-Hudzail al-Allaf mengikuti jejak para pendahulunya. Ia banyak menulis buku untuk membantah mazhab-mazhab yang menyimpang dan membantah argumen-argumen mereka. Salah satu karyanya yang paling penting adalah sebuah kitab yang dikenal dengan nama Milas. Milas adalah seorang Majusi yang kemudian masuk Islam. Penyebab keislamannya adalah karena ia mempertemukan Abu al-Hudzail dengan beberapa penganut sekte Tsanuwiyah. Lalu Abu al-Hudzail berhasil mengalahkan mereka dalam debat dan menunjukkan kebatilan ajaran mereka (Al Wafi bil Wafayat, 4/266).

Dari semua yang disebutkan, tampak bahwa kaum Mu’tazilah berusaha keras dalam membela agama Islam dan menyerukan dakwah Islam. Namun, tidaklah seseorang membaca kisah-kisah tentang usaha Mu’tazilah dalam dakwahnya dan pembelaannya terhadap agama Islam, kecuali akan terselipkan keraguan, dan sedikit kebimbangan untuk menerima kisah-kisan tersebut sepeunuhnya. Karena kisah-kisah tersebut hanya muncul secara rinci dalam kitab-kitab kaum Mu’tazilah sendiri.

Sementara itu, sumber-sumber lain hanya menyebutkan hal tersebut secara singkat dan samar. Namun, jika semua atau sebagian dari kisah-kisah tersebut benar, itu merupakan bukti bahwa tokoh-tokoh Mu’tazilah banyak terlibat dalam perdebatan. Dan diketahui bahwa perdebatan terkadang melahirkan pemikiran, atau mengembangkan prinsip-prinsip baru, menyebarkannya, dan memberikan popularitas kepada para pelakunya. Yang pada akhirnya menghasilkan banyak pengikut dan penyebaran mazhab serta keyakinan mereka.

7. Kaum Mu’tazilah memiliki perhatian khusus terhadap ilmu filsafat

Al Maqrizi rahimahullah menjelaskan: “Al-Ma’mun Abdullah bin Harun al-Rasyid, khalifah ke-7 Bani Abbasiyah di Baghdad, ketika ia sangat tertarik dengan ilmu-ilmu kuno, ia mengirim utusan ke negeri Romawi untuk menerjemahkan buku-buku para filsuf dan membawanya ke Baghdad pada tahun sekitar 210 H. Maka, ajaran-ajaran filsafat pun tersebar di tengah masyarakat Islam. Dan buku-buku mereka menjadi terkenal di berbagai wilayah. Kaum Mu’tazilah, Qaramitah, Jahmiyah, dan yang lainnya pun mulai banyak mempelajari dan menelaah buku-buku filsafat. Akibatnya, ilmu filsafat membawa bencana dan ujian yang tak tergambarkan bagi Islam dan umatnya. Filsafat semakin memperbesar kesesatan ahli bid’ah, menambah kekufuran mereka di atas kekufuran yang sudah ada” (Al Mawa’izh wal I’tibar, 4/191).

Kaum Mu’tazilah semakin kuat dengan ilmu filsafatnya. Salah satu tokoh Mu’tazilah yang paling terpengaruh oleh buku-buku tersebut adalah an-Nazham (Ibnu Sayyar bin Hani’). Seperti yang disebutkan oleh as-Syahrastani, ia membaca banyak buku filsfat dan mencampurkan perkataan para filsuf dengan pemikiran Mu’tazilah. Para pengikutnya juga meniru apa yang ia lakukan.

8. Mu’tazilah Mengklaim Akidah Mereka Berasal Dari Para Sahabat Nabi

Klaim ini batil sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya.

Sumber Pengambilan Akidah Mu’tazilah

Sumber pengambilan kaum Mu’tazilah untuk membentuk akidah mereka sangat beragam. Di antaranya mereka mengambil akidah dari dalil-dalil agama dan juga filsafat, serta mendapat pengaruh dari pemikiran berbagai sekte yang berbeda. Mereka juga mendapatkan banyak pengaruh dari metode mengambil ilmu dan berdalil yang menggiring mereka untuk membentuk akidah mereka di awal kemunculan dan di masa-masa setelahnya. Selain itu, mereka menciptakan konsep akidah yang baru seperti al-ushul al-khamsah dan konsep akidah lainnya.

Beberapa ulama berpendapat bahwa ajaran Mu’tazilah merupakan campuran antara ajaran Islam dan pemikiran dari luar Islam, seperti filsafat Yunani, ajaran Yahudi dan Nasrani, serta konsep logika Aristoteles, dalam merumuskan pandangan-pandangan Mu’tazilah (Al Harakat As Sirriyah fil Islam, hal. 92).

Beberapa pemikiran Mu’tazilah yang sesuai dengan sekte-sekte menyimpang lainnya:

Pertama: Qadariyah
Kaum Mu’tazilah mengambil akidah tentang takdir dari kaum Qadariyah. Bahwa manusia menguasai perbuatan mereka secara total tanpa campur tangan takdir. Kaum Mu’tazilah merupakan perpanjangan tangan dari ajaran Qadariyah yang digagas oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghaylan ad-Dimasyqi serta pengikut-pengikut mereka.

Kedua: Jahmiyah
Kaum Mu’tazilah mengadopsi pemikiran Jahmiyah berupa menolak meyakini sifat-sifat Allah, doktrin bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, menolak meyakini ru’yatullah, dan lainnya. Meskipun ada perbedaan dalam terminologi dan beberapa detailnya. Namun sebagian ulama salaf menyebut kaum Mu’tazilah sebagai Jahmiyah dan tidak membedakan antara keduanya.

Ketiga: Khawarij
Kaum Mu’tazilah mengambil akidah dari Khawarij tentang hukuman bagi pelaku dosa besar di akhirat dan pandangan mereka tentang syafaat. Mereka juga mengambil prinsip amar makruf nahi mungkar dan sikap memberontak terhadap penguasa dari Khawarij.

Keempat: Syiah
Mereka sepakat dengan Syiah dalam banyak pandangan tentang imamah. Seperti akidah tentang kewajiban adanya imam di setiap masa. Selain itu, mereka juga membolehkan ta’wil. Bahkan, Ibnul Murtada (tokoh Mu’tazilah) cenderung meyakini bahwa Washil dan Amr bin Ubaid, dua tokoh besar Mu’tazilah, merupakan murid Abu Hasyim bin Muhammad bin al-Hanafiyah (Al Muniyyah wal ‘Amal, hal. 22).


Diterjemahkan dari:

Mausu’atul Firaq Durar As Saniyah, dibawah bimbingan Syaikh Alwi bin Abdulqadir As Saqqaf.

Umroh Keluarga Bahagia Di Awal Ramadhan Bersama Ustadz Yulian Purnama

Program “Umroh Keluarga Bahagia” adalah program umroh yang dirancang untuk jamaah yang berumrah bersama keluarga beserta anak-anaknya. Kami siapkan acara-acara menarik selama perjalanan di tanah suci.Hotel sangat dekat dengan Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, free kereta cepat Madinah-Makkah, bersama Batik Travel di bulan Februari 2026. Dibimbing oleh Ustadz Yulian Purnama –hafizhahullah

Paket 9 Hari, berangkat: 16 Februari 2026

📲 Tanya-tanya dulu juga boleh! 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Fawaid Kangaswad adalah platform dakwah sunnah melalui website fawaidkangaswad.id dan beberapa kanal di media sosial seperti whatsapp, telegram, instagram dan twitter.

Fawaid Kangaswad juga mengelola Ma’had Fawaid Kangaswad, yaitu program belajar Islam berbasis kitab kuning karya para ulama Ahlussunnah, melalui media grup Whatsapp.

Fawaid Kangaswad juga menyebarkan buku-buku serta e-book bermanfaat secara gratis.

Dukung operasional kami melalui:

https://trakteer.id/kangaswad
(transfer bank, QRIS, OVO, Gopay, ShopeePay, Dana, LinkAja, dll)

Atau melalui:

Bank Mandiri 1370023156371 a/n Yulian Purnama

Semoga menjadi pahala jariyah.

Trending