Ketahuilah perdebatan dalam masalah agama itu terlarang dan merupakan sebab kesesatan, serta bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah. Kecuali debat yang diperbolehkan yang memenuhi syarat-syaratnya.
Debat dalam bahasa Arab disebut dengan al-mira’ atau al jadal.
Al Jurjani rahimahullah mendefinisikan al mira’:
طعن في كلام الغير لإظهار خلل فيه، من غير أن يرتبط به غرض سوى تحقير الغير
“Al-mira’ adalah mencela mengkritik orang lain untuk menunjukkan cacat pada perkataan orang lain tersebut, dan tidak ada tujuan lain selain hanya untuk merendahkan orang tersebut” (At Ta’rifat, hal. 209).
Adapun al-jadal, Al Jurjani mengatakan:
الجَدَلُ: دَفعُ المرءِ خَصمَه عن إفسادِ قَولِه، بحُجَّةٍ أو شُبهةٍ، أو يَقصِدُ به تصحيحَ كلامِه
“Al-jadal adalah upaya seseorang untuk menolak argumen lawannya yang bertujuan untuk membatalkan perkataannya, dengan menggunakan argumen kuat atau syubhat, atau bertujuan untuk menguatkan pendapatnya sendiri.” (At Ta’rifat, hal. 74).
Al jadal lebih ringan daripada al mira’, karena al mira’ tujuannya untuk merendahkan sedangkan al jadal tujuannya sekedar untuk memenangkan pendapat sendiri tanpa merendahkan. Namun keduanya tetap terlarang. Al Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam matan Ushulus Sunnah mengatakan:
وتَركُ المِراءِ والجِدالِ والخُصوماتِ في الدِّينِ …
“(landasan akidah ahlussunnah) di antaranya adalah meninggalkan al mira’ dan al jadal serta perdebatan dalam agama…”
Dalil Larangan
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah tukang debat yang paling keras” (QS. Al Baqarah: 204).
Ath Thabari rahimahullah menjelaskan:
أي: ذو جِدالٍ إذا كَلَّمك وراجَعَك
“Maksudnya orang yang senang debat jika bicara denganmu dan jika murujuk padamu” (Tafsir Ath Thabari, 18/114).
Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat” (QS. Al Kahfi: 54).
Dalam ayat ini Allah ta’ala mencela orang yang gemar berdebat. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
الإنسانُ كثيرُ المُجادَلةِ والمخاصَمةِ والمعارَضةِ للحَقِّ بالباطِلِ، إلَّا مَن هدى اللهُ وبَصَّرَه لطَريقِ النَّجاةِ
“Manusia banyak mendebat, memprotes dan menyanggah kebenaran dengan kebatilan. Kecuali orang-orang yang Allah berikan petunjuk kepada jalan keselamatan” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/171).
Allah ta’ala berfirman:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا
“Tidaklah ada yang mendebat ayat-ayat Allah kecuali orang-orang yang kafir” (QS. Ghafir: 4).
Ibnu Katsir menjelaskan:
الجاحدون لآيات الله وحججه وبراهينه
“Maksudnya, orang-orang menentang ayat-ayat Allah dan hujjah-hujjah dari Allah serta bukti-bukti dari Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/481).
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Di antara manusia ada yang mendebat ayat-ayat Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang terang” (QS. Al Hajj: 8).
Asy Syaukani menjelaskan:
ومِنَ النَّاسِ فريقٌ يجادِلُ في اللهِ، فيَدخُلُ في ذلك كُلُّ مجادِلٍ في ذاتِ اللهِ، أو صفاتِه، أو شرائِعِه الواضِحةِ
“Di antara manusia ada segolongan orang yang suka mendebat Allah. Sehingga mereka memasukkan segala hal dalam perdebatannya sampai-sampai memperdebatkan tentang Dzat Allah, sifat-sifat Allah atau syariatnya yang sudah jelas” (Fathul Qadir, 3/519).
Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أنا زعيمٌ ببَيْتٍ في رَبَضِ الجَنَّةِ لِمَن ترَك المِراءَ وإنْ كان مُحِقًّا، وببَيْتٍ في وسَطِ الجَنَّةِ لِمَن ترَك الكَذِبَ وإن كان مازحًا، وببَيْتٍ في أعلى الجَنَّةِ لِمَن حسُنَ خُلُقُهُ
“Aku menjamin rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan debat walaupun ia benar. Dan aku menjamin rumah di tengah surga, bagi orang yang meninggalkan dusta ketika bercanda. Dan aku menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang akhlaknya baik” (HR. Abu Daud no. 4800, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 273).
Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما ضَلَّ قومٌ بعدَ هُدًى كانوا عليهِ إلَّا أوتوا الجدَلَ
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah mereka mendapat petunjuk, kecuali karena mereka diberikan kemampuan debat” (HR. At Tirmidzi no.3253, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dari Aisyah radhiallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إلى اللَّهِ الألَدُّ الخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang sangat suka berdebat.” (HR. Bukhari no.2457, Muslim no.2668).
Celaan Para Salaf dan Ulama
Abud Darda radhiallahu’anhu berkata:
كفى بك إثمًا ألَّا تزالَ مُماريًا
“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendosa jika ia senantiasa berdebat” (Diriwayatkan Ad Darimi dalam Sunan-nya, no. 293).
Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma mengatakan:
لن يصيبَ رَجُلٌ حقيقةَ الإيمانِ حتَّى يترُكَ المِراءَ
“Seseorang tidak akan menggapai hakekat iman sampai ia meninggalkan perdebatan” (Az Zuhd karya Abdullah bin Imam Ahmad, no.2134).
Umar bin Abdil Aziz rahimahullah, seorang ulama tabi’ut tabi’in, mengatakan:
مَنْ جَعَلَ دِينَهُ غَرَضاً لِلْخُصُومَاتِ أَكْثَرَ التَّنَقُّلَ
“Siapa yang menjadikan agamanya sebagai bahan perdebatan, ia akan berpindah-pindah akidah” (Diriwayatkan Ad Darimi dalam Sunan-nya, no. 310).
Imam Al Barbahari rahimahullah dalam matan Syarhus Sunnah mengatakan:
وجاء رجل إلى الحسن فقال: أنا أناظرك في الدين، فقال الحسن: أنا عرفت ديني، فإن ضل دينك فاذهب فاطلبه
Ada seorang datang kepada Al Hasan Al Bashri, kemudian berkata: “Aku ingin mengajakmu berdebat masalah agama”.
Al Hasan mengatakan: ” Saya sudah mengetahui agama saya. Jika agamamu hilang, silakan cari sendiri” [selesai].
Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: “Maksudnya saya tidak ragu terhadap akidah saya sehingga butuh untuk berdebat denganmu. Adapun anda, jika anda masih ragu terhadap agama anda, silakan cari sendiri” (Ta’liq ‘ala Syarhis Sunnah, hal. 402).
Imam Al Barbahari juga dalam matan Syarhus Sunnah mengatakan:
والكلام والخصومة والجدال والمراء محدث، يقدح الشك في القلب، وإن أصاب صاحبه الحق والسنة
“Ilmu kalam, perdebatan, al jadal, dan al mira’ dalam masalah agama adalah perkara yang baru. Akan menimbulkan keraguan di dalam hati walaupun pelakunya mengikuti kebenaran dan sunnah”.
Imam Malik mengatakan:
ليس هذا الجدل من الدين بشيء
“Debat bukanlah bagian dari agama sedikitpun” (Adab Asy Syarr’iyyah, 1/202).
Abu Qilabah mengatakan:
لا تجالِسوا أهلَ الأهواءِ ولا تجادِلوهم؛ فإنِّي لا آمَنُ أن يَغمِسوكم في ضلالتِهم، أو يَلبِسوا عليكم ما كنتُم تَعرِفون
“Jangan duduk bersama ahlul ahwa’ (ahlul bid’ah) dan jangan berdebat dengan mereka. Karena aku tidak merasa aman bahwa mereka bisa menenggelamkan kalian dalam kesesatan mereka dan membuat ragu terhadap ilmu yang telah kalian ketahui” (Diriwayatkan Ad Darimi dalam Sunan-nya, no. 405).
Prinsip Dalam Dakwah
Prinsip penting dalam dakwah adalah: sampaikan kebenaran, jika diterima alhamdulillah, jika tidak maka tidak mengapa. Tidak perlu masuk dalam perdebatan. Sebagaimana nasehat Imam Malik rahimahullah berikut ini,
قال الهيثم بن جميل: قلت لمالك ابن انس: الرجل يكون عالما بالسنة أيجادل عنها؟ قال: لا .. ولكن يُخبِر بالسنة فإن قُبِلتْ منه وإلا سكت
Al Haitsam bin Jamil mengatakan, saya pernah berkata kepada Imam Malik bin Anas: “seseorang yang alim (berilmu) terhadap sunnah Nabi, apakah boleh ia berdebat tentang As Sunnah?”.
Imam Malik menjawab: “Jangan! Namun sampaikanlah tentang As Sunnah. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, ya sudah diam saja” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, hal. 936).
Debat Yang Boleh
Berdebat dalam masalah agama hukum asalnya terlarang. Namun ada debat yang dikecualikan dan dibolehkan. Yaitu debat dengan ahlul batil dengan tujuan untuk menampakkan kebenaran, dan dilakukan oleh orang-orang yang layak untuk berdebat. Allah ta’ala berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl: 125).
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم
“Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan harta kalian, nyawa kalian dan lisan kalian” (HR. HR. Abu Daud no.2504, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Sebagaimana Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma mendebat orang Khawarij, Imam Ahmad mendebat orang Mu’tazilah, perbedatan Syaikhul Islam dengan ahlul kalam dan contoh lainnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:
مجادلة لإثبات الحق وإن كان عليه؛ فهذه محمودة مأمور بها
“Debat untuk menegakkan kebenaran, jika memang harus dilakukan, maka ini debat yang terpuji dan diperintahkan agama” (Kitabul Ilmi, hal. 164).
Adapun jika debat bukan untuk tujuan tersebut, maka tidak diperbolehkan. Semisal:
- Debat untuk mengalahkan lawan debat
- Debat untuk menjatuhkan kehormatan lawan debat
- Debat untuk mencari kebenaran
- Debat untuk membela pendapat pribadi
- Debat untuk mencari harta
- Debat yang bisa membuat bertambah kuatnya kebatilan dan syubhat
- Debat yang bisa membuat ragu terhadap iman yang benar
- Dan yang semisalnya
Dan debat yang dibolehkan ada syarat-syaratnya, di antaranya:
- Tujuannya untuk menetapkan kebenaran dan menampakkan kebenaran.
- Perdebatan tersebut lebih besar maslahatnya daripada mudaratnya.
- Dilakukan oleh orang yang berilmu dengan ilmu yang mendalam.
- Orang yang berdebat harus memahami argumen lawan dan bantahannya.
- Orang yang berdebat harus memiliki keahlian debat selain ilmu yang dimilikinya.
Abul Walid Al Baji rahimahullah mengatakan:
كُلُّ مَن ذَمَّ الجَدَلَ من السَّلَفِ إنَّما ذَمَّه على أحَدِ وَجهَينِ: إمَّا أن يَذُمَّ جَدَلَ مَن نَصَر باطِلًا ودعا إلى ضلالةٍ، أو جَدَلَ مَن لا عِلمَ له بذلك، فلا يحِلُّ أن يتعَرَّضَ له ولا يناظِرَ أهلَ البِدَعِ لأحَدِ أمرَينِ ممنوعَينِ، وربَّما اجتمعا له: أحدُهما: أنَّه يُظهِرُ باطِلَهم على حَقِّه. والثَّاني: أنَّه ربَّما وقعَت في نفسِه شُبهةٌ ليس عندَه من العِلمِ ما يَرُدُّها به، فتُضِلُّه
“Semua celaan terhadap al jadal dari kalangan salaf, sesungguhnya mereka mencelanya jika ada salah satu dari dua poin ini: pertama, mereka mencela debat seseorang yang membela kebatilan dan mengajak kepada kesesatan; atau yang kedua, mereka mencela perdebatan orang yang tidak memiliki ilmu tentang hal itu. Maka, tidak diperbolehkan bagi orang seperti ini untuk terlibat dalam debat dan dialog dengan ahli bid’ah karena salah satu dari dua alasan yang terlarang berikut ini, dan kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seseorang: pertama, bahwa ia justru akan menampakkan kebatilan mereka bukan kebenaran. Kedua, bisa jadi akan timbul syubhat dalam dirinya dan ia tidak memiliki ilmu untuk membantahnya, sehingga membuatnya tersesat” (Sunanus Shalihin wa Sunanul Abidin, 484 – 485).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah juga mengatakan,
لا ينبغي للإنسانِ أن يدخل في مجادلةِ أحدٍ إلا بعد أن يعرف حجتهُ، ويكون مستعداً لدحرها والجوابِ عنها
“Tidak sepatutnya seseorang masuk dalam kancah perdebatan untuk mengkritisi orang lain kecuali setelah mengetahui hujjah orang tersebut, dan mempersiapkan waktu untuk melakukan debat dan mempersiapkan jawabannya” (Syarah Kasyfus Syubuhat , hal.73).
Syaikh Dr. Nashil al-Aql menjelaskan:
بعض الناس عنده علم ولا يفوته الدليل ولا وجه الاستدلال في مسألة ما، لكنه يعرف من نفسه أنه إذا تصدى في المجادلة للخصم قد يرتبك وتخونه العبارة فإذا لم يجد في نفسه الأهلية من ناحية المقدرة البيانية حتى وإن كان عالماً فلا يجوز له أن يدخل في حوار مع خصم قوي أمام الملأ
“Sebagian orang memiliki ilmu dan menghafal semua dalil atau sisi pendalilan dalam suatu masalah. Namun ia mengetahui dirinya bahwa jika ia menghadapi lawan dalam debat, ia mungkin mudah bingung dan kata-katanya tidak lancar. Maka, jika ia merasa tidak memiliki kemampuan dari segi keahlian debat, meskipun ia seorang yang berilmu, tidak diperbolehkan baginya untuk terlibat dalam debat dengan lawan yang kuat di hadapan umum” (At Ta’liq ‘ala Syarhis Sunnah, 4/8).
Oleh karena itu, para penuntut ilmu hendaknya tidak menyibukkan diri dengan perdebatan-perdebatan yang terjadi di zaman ini. Terutama perdebatan di media sosial, karena syarat-syarat bolehnya debat adalah syarat yang berat. Sehingga kepada hukum asalnya bahwa perdebatan dalam agama itu terlarang.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.






Leave a comment