Para misionaris dan orientalis menuduh agama Islam juga mengajarkan paganisme dengan menyembah Ka’bah atau Hajar Aswad sebagai berhalanya. Tuduhan ini kita bantah dengan beberapa poin:

Pertama: ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi tidak ada yang memerintahkan menyembah Ka’bah

Keyakinan otentik dari suatu agama dilihat dari teks kitab sucinya. Sedangkan tidak ada ayat Al Qur’an atau hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan untuk menyembah Ka’bah. Andaikan Ka’bah disembah kaum Muslimin, seharusnya banyak ayat atau hadits yang tegas dan lugas memerintahkan untuk menyembah Ka’bah. Karena masalah penyembahan adalah masalah krusial. Namun realitanya tidak ada sama sekali.

Justru sangat-sengat jelas dalam teks Al Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam perintah untuk menyembah Allah semata.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua (ibu dan bapak), karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa: 36).

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku semata”. (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Dan ayat-ayat yang lainnya. Demikian dalil-dalil dari hadits.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukan hal ini semua, maka terlindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam. Adapun perhitungan dosa mereka diserahkan pada Allah Ta’ala” (HR. Bukhari no.6924 dan Muslim no.21)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman beliau bersabda:

إنك تأتي قوما من أهل الكتاب ، فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد في فقرائهم فإن هم أطاعوا لذلك فإياك وكرائم أموالهم

“Engkau akan mendatangi sebuah kaum ahli kitab. Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Aku adalah utusan Allah. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, ajarilah mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu setiap sehari semalam. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, ajarilah mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka membayar zakat yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang faqir di antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, jauhilah harta-harta mereka” (HR. Muslim no. 19).

Dari Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

من ماتَ وَهوَ يعلمُ أن لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ دخلَ الجنَّةَ

“Siapa yang mati dalam keadaan mengilmui bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, ia akan masuk surga” (HR. Muslim no. 26).

Dan dalil-dalil lainnya yang sangat terang benderang, memerintahkan untuk menyembah Allah semata dan tidak boleh menyembah selain-Nya.

Kedua: terdapat banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang menyebutkan bahwa Ka’bah dan Hajar Aswad tidak layak disembah

Allah Ta’ala berfirman,

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah)” (QS. Al-Quraisy: 3)

Dalam ayat ini, Allah ta’ala memerintahkan untuk menyembah pemiliki Ka’bah yaitu Allah, bukan menyembah Ka’bah.

Umar bin Khathab radhiallahu’anhu , khalifah ke-2 dari Khulafa ar-Rasyidin, ketika beliau hendak mencium Hajar Aswad beliau berkata:

إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270).

Maka dalil-dalil ini jelas menunjukkan bahwa Ka’bah dan Hajar Aswad tidak boleh dan tidak layak disembah.

Ketiga: ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang menjelaskan Ka’bah hanya sebagai kiblat ibadah dan Hajar Aswad diperintah untuk dicium atau disentuh

Ayat-ayat Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa fungsi Ka’bah adalah sebagai arah kiblat dan tempat melakukan ibadah thawaf, bukan untuk disembah.

Allah ta’ala berfirman,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144).

Allah ta’ala berfirman:

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Ka’bah)” (QS. Al Hajj: 29).

Nabi shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912).

Adapun hikmah dari thawaf mengelilingi Ka’bah adalah dalam rangka untuk berdzikir kepada Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan:

إنما جُعِلَ الطوافُ بالبيتِ والسعيُ بينَ الصفا والمروةِ ورميُ الجمارِ لإقامةِ ذكرِ اللهِ

“Sesungguhnya disyariatkan thawaf di Baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah, melempar jumrah, adalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah” (HR. Abu Daud no.1888, didhaifkan oleh Al Albani dalam Dhaif Abu Daud, dihasankan oleh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya [16/186]).

Keempat: para ulama Islam melarang mengkultuskan Ka’bah secara berlebihan

Para ulama Islam melarang mengkultuskan Ka’bah melebihi dari apa yang dituntunkan dalam agama Islam. Seperti dengan mengusap-usap Ka’bah, mencium Ka’bah, ngalap berkah dengan kiswah Ka’bah, mencium Rukun Yamani, ini semua tidak disyariatkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

“Perbuatan semisal ini dilakukan oleh orang-orang yang dengan perbuatan tersebut dia ingin beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla serta beribadah kepadaNya. Dan semua amal yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah kepada Allah, namun tidak memiliki landasan syariat, maka dia merupakan bid’ah yang telah diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

إياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة

“Hendaknya kalian meninggalkan perkara yang diada-adakan dalam agama, karena seluruh bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmizi no. 2676, Abu Daud no. 4607).

Tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau mengusap sesuatu selain Rukun Yamani dan Hajar Aswad. Padahal Allah ta’ala berfirman:

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik” (QS.. Al-Ahzab: 21).

Dengan demikian, jika seseorang mengusap salah satu sudut Ka’bah atau bagiannya, selain rukun Yamani atau Hajar Aswad, maka yang ia lakukan termasuk kebid’ahan. Berdasarkan juga riwayat bahwa Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma melihat Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu anhuma mengusap rukun utara (Rukun Syami), maka Abdullah bin Abbas melarangnya. Mu’awiyah radhiallahu’anhu lantas berkata, “

ليس شيء من البيت مهجورا ، فقال ابن عباس رضي الله عنهما : ( لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة ) وقد رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يمسح الركنين اليمانيين

“Tidak ada satu bagian Ka’bah pun yang kutinggalkan!” Lalu Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Sungguhnya pada Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian”. Dan aku melihat beliau hanya mengusap dua rukun yamani saja (maksudnya rukun Yamani dan Hajar Aswad)” (HR. Al Bukhari no.1609).

Maka akhirnya Mu’awiyah pun rujuk kepada nasehat Ibnu Abbas.

Lihatlah, para ulama melarang berlebih-lebihan terhadap Ka’bah. Ini merupakan bukti bahwa kaum Muslimin tidak menyambah Ka’bah.

Kelima: kiblat kaum Muslimin pernah ke arah Baitul Maqdis di Palestina

Allah ta’ala berfirman:

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144).

Sebab turunnya ayat ini disebutkan dalam Shahih Al Bukhari, dari Al Barra’ bin Azib radhiallahu’anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ المَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ ، أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنَ الأَنْصَارِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ البَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلَّاهَا صَلاَةَ العَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ وَهُمْ رَاكِعُونَ ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ البَيْتِ ، وَكَانَتِ اليَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّي قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الكِتَابِ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ البَيْتِ ، أَنْكَرُوا ذَلِكَ .

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pertama kali tiba di Madinah, beliau menghampiri rumah kakek-kakek beliau, atau paman-paman beliau dari kalangan Anshar. Dan Nabi shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan. Namun beliau ingin jika kiblat menghadap ke Ka’bah (di Mekkah). Kemudian beliau menunaikan shalat pertama setelah perubahan kiblat, yaitu shalat Asar, dan ada sekelompok orang yang shalat bersamanya. Lalu salah seorang yang telah shalat bersama beliau keluar dan melewati sebuah masjid yang para jamaahnya sedang ruku’. Ia pun berkata, “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa aku telah shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menghadap ke Mekkah”. Maka mereka pun berbalik arah sebagaimana keadaan mereka dahulu, menghadap ke Ka’bah. Sebelumnya, orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab merasa senang ketika beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Namun, ketika beliau menghadapkan wajahnya kembali ke Ka’bah, mereka mengingkari hal tersebut” (HR. Al Bukhari no.41).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَنَزَلَتْ: ( قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ) البقرة/ 144، فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ وَهُمْ رُكُوعٌ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَقَدْ صَلَّوْا رَكْعَةً ، فَنَادَى : أَلَا إِنَّ الْقِبْلَةَ قَدْ حُوِّلَتْ ، فَمَالُوا كَمَا هُمْ نَحْوَ الْقِبْلَةِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu shalat menghadap ke Baitul Maqdis, lalu turunlah ayat (yang artinya) : “Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke langit, maka pasti Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau ridhai. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram” (QS. Al-Baqarah: 144). Kemudian seorang lelaki dari Bani Salamah melewati mereka yang sedang ruku’ dalam shalat Subuh, dan mereka telah menyelesaikan satu rakaat. Lalu ia berseru, “Ketahuilah! Kiblat telah diubah”. Maka mereka pun berbalik arah sebagaimana keadaan mereka dahulu, menghadap ke kiblat yang baru (ke Ka’bah)” (HR. Muslim no. 527).

Hal ini menegaskan bahwa Ka’bah tidaklah disembah, melainkan hanya kiblat pemersatu ibadah kaum Muslimin. Buktinya, Ka’bah pernah tidak menjadi kiblat ketika Allah perintahkan kaum Muslim menghadap ke arah Baitul Maqdis sebagai kiblat.

Andaikan Ka’bah disembah tentu kaum Muslimin tidak akan pernah berpaling darinya sama sekali.

Keenam: para ulama Ahlussunnah tidak ada yang meyakini dzat Allah ada di dalam Ka’bah

Kaum Muslimin meyakini Allah Maha Tinggi di atas ‘Arsy bukan di dalam Ka’bah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Keyakinan bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi, berada di atas langit dan ber-istiwa di atas Arsy adalah ijma (konsensus) salaf serta ijma para ulama yang mengikuti jejak mereka. Dalam kitab Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, Imam Adz Dzahabi menukil perkataan Ishaq bin Rahuwaih:

قال الله تعالى {الرحمن على العرش استوى} إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة

“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Ar Rahman ber-istiwa di atas Arsy’, ini adalah ijma para ulama yaitu bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, dan Allah mengetahui segala sesuatu hingga di bawah bumi yang ke tujuh” (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, 179).

Imam Ibnu Bathah mengatakan:

أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين، وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه، فوق سماواته بائن من خلقه، وعلمه محيط بجميع خلقه، لا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية

“Kaum Muslimin dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in serta para ulama kaum Mu’minin bersepakat bahwasanya Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di atas Arsy, di atas langit-langit dan terbedakan dengan makhluknya. Adapun ilmu Allah meliputi seluruh makhluk. Tidak ada yang menolak dan mengingkari keyakinan ini kecuali orang-orang yang terpengaruh madzhab hululiyyah” (Al Ibanah Al Kubra, 7/136).

Maka tidak ada satu pun ulama Islam yang meyakini Allah ta’ala ada di dalam Ka’bah.

Ketujuh: bangunan Ka’bah dahulu tidak seperti sekarang

Ka’bah ketika pertama kali dibangun sangatlah sederhana tidak seperti bangunan Ka’bah sekarang. Abut Thufail radhiallahu’anhu mengatakan:

انَتِ الْكَعْبَةُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَبْنِيَّةٌ بِالرَّضْمِ لَيْسَ فِيهَا مَدَرٌ، وَكَانَتْ قَدْرَ مَا يَقْتَحِمُهَا الْعَنَاقُ، وَكَانَتْ ثِيَابُهَا تُوضَعُ عَلَيْهَا تُسْدَلُ سَدْلًا، وَكَانَتْ ذَاتَ رُكْنَيْنِ كَهَيْئَةِ هَذِهِ الْحَلْقَةِ

“Ka’bah pada masa Jahiliyah dibangun dengan susunan batu saja tanpa menggunakan tanah liat (sebagai perekat). Bangunannya hanya setinggi batas yang bisa dilompati oleh seekor kambing. Kain-kain penutupnya diletakkan di atasnya dengan cara diselubungkan. Ka’bah saat itu hanya memiliki dua sudut, menyerupai bentuk setengah lingkaran” (Fathul Bari, 3/441).

Dari ‘Amr bin Dinar dan ‘Ubaidullah bin Abi Yazid, mereka berdua berkata,

لَمْ يَكُنْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَوْلَ البَيْتِ حَائِطٌ، كَانُوا يُصَلُّونَ حَوْلَ البَيْتِ، حَتَّى كَانَ عُمَرُ فَبَنَى حَوْلَهُ حَائِطًا»، قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ جَدْرُهُ قَصِيرٌ فَبَنَاهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ

“Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum ada dinding sama sekali di sekeliling ka’bah. Mereka dahulu shalat sekitar ka’bah. Hingga masa pemerintahan Umar bin Khattab, maka beliau membangun dinding di sekitar Ka’bah. ‘Ubaidullah berkata, “Dindingnya pendek, kemudian Abdullah bin Az-Zubair meninggikan dindingnya” (HR Al-Bukhari no. 3830).

Oleh karena itu, tidak ada alasan sama sekali untuk menyembah Ka’bah karena awalnya Ka’bah hanya sususan batu-batu yang pendek yang sederhana. Karena memang fungsinya sebagai tempat ibadah dan kiblat.

Kedelapan: Ka’bah dahulu pernah hancur beberapa kali dan dibangun kembali

As Suhaili rahimahullah mengatakan:

إنّهُ بُنِيَ فِي أَيّامِ جُرْهُمَ مَرّةً أَوْ مَرّتَيْنِ لِأَنّ السّيْلَ كَانَ قَدْ صَدّعَ حَائِطَهُ وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ بُنْيَانًا عَلَى نَحْوِ مَا قَدّمْنَا

“Sesungguhnya Ka’bah pernah dibangun kembali satu atau dua kali pada masa suku Jurhum, karena banjir bandang telah menyebabkan dindingnya retak. Namun, bangunan tersebut tidak seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya” (Ar Raudhul Unuf, 2/173).

Ka’bah juga berkali-kali dicuri harta yang tersimpan di dalamnya. Termasuk al-Hajarul Aswad, beberapa kali dicuri dari Ka’bah.

Maka bagaimana mungkin sesuatu yang hancur berkali-kali dan tidak mempertahankan dirinya kemudian disembah selain Allah? Allah ta’ala berfirman:

أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ، وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah) dengan berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan manusia, dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raf: 191-192).

Kesembilan: orang yang jauh dari Ka’bah tidak harus pas menghadap Ka’bah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

قال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لأهل المدينة: ((ما بين المشرقِ والمغرب قِبلةٌ))؛ لأنَّ المدينة تقَعُ شمالًا عن مكَّة، فإذا وقع الشمال عن مكة فإنَّ جهة القبلة تكون ما بين المشرق والمغرب، وعلى هذا فلو انحرفتَ ولكنَّك لم تخرج عن مسامتة الجهة، فإنَّ ذلك لا يضرُّ؛ لأنَّ الجهة واسعة، فإذا كان البلد يقع شرقًا عن مكَّة، فنقول: ما بين الشمال والجنوب قِبلة، وإذا كان يقع غربًا نقول: ما بين الشمال والجنوب قبلة، وهذا من تيسير الله؛ لأنَّ إصابة عين الكعبة مع البُعد متعذِّر أو متعسِّر، وإذا كان متعذرًا أو متعسِّرًا، فإنَّ الله قد يسَّر لعباده، وجعل الواجبَ استقبالَ الجهة

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada penduduk Madinah: “Apa yang berada di antara timur dan barat adalah kiblat”. Sebab, Madinah terletak di utara Makkah. Jika suatu tempat berada di utara Makkah, maka arah kiblatnya berada di antara timur dan barat. Oleh karena itu, jika seseorang sedikit menyimpang dari posisi Ka’bah tetapi masih dalam rentang arah kiblat, hal itu tidak menjadi masalah karena arah kiblat cukup luas.

Jika suatu daerah terletak di sebelah timur Makkah, maka kiblatnya berada di antara utara dan selatan. Jika suatu daerah terletak di sebelah barat Makkah, maka kiblatnya juga berada di antara utara dan selatan. Ini merupakan kemudahan dari Allah, karena menghadap tepat ke arah Ka’bah dari jarak jauh sangat sulit atau bahkan mustahil. Karena itu, Allah memudahkan hamba-Nya dan menjadikan kewajiban dalam shalat adalah menghadap ke arah kiblat (tidak harus tepat ke Ka’bah)” (Majmu’ Fatawa War Rasail, 12/421).

Ini semakin menguatkan bahwa Ka’bah tidaklah disembah melainkan sekedar untuk mempersatukan arah ibadah kaum Muslimin.

Kesepuluh: tidak ada perintah untuk membuat replika Ka’bah di masjid-masjid untuk disembah

Andaikan Ka’bah adalah berhala yang disembah, tentunya setiap rumah-rumah kaum Muslimin memiliki replika Ka’bah untuk disembah sebagaimana perilaku para penyembah berhala. Karena tentu tidak sulit untuk membuat replika Ka’bah.

Namun nyatanya kaum Muslimin tidak membuat replika Ka’bah untuk diletakkan di rumah masing-masing dan tidak ada perintah dalam agama Islam untuk melakukan hal tersebut.

Bahkan sebagian ulama melarang membuat replika Ka’bah untuk tujuan apapun. Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menyatakan:

لا يجوز تصنيع مجسم للكعبة المشرفة وللقبة التي على قبر النبي صلى الله عليه وسلم ، ولا التجارة فيهما ؛ وذلك لأن صناعتهما والتجارة بهما وتداولهما يفضي إلى محظورات يجب الحذر منها ، وسد كل باب يوصل إليها

“Tidak diperbolehkan membuat replika Ka’bah atau kubah yang berada di atas makam Nabi ﷺ, serta tidak boleh memperdagangkannya. Hal ini karena pembuatan, perdagangan, dan peredarannya dapat mengarah pada hal-hal yang terlarang, yang harus dihindari, serta dapat membuka pintu menuju kesalahan yang harus ditutup” (Fatawa Al Lajnah, rilis ke-2, 1/323).

Maka walhamdulillah jelas sudah bahwa kaum Muslimin sama sekali tidak menyembah Ka’bah. Namun Ka’bah adalah tempat ibadah, tempat yang dimuliakan, dan pemersatu arah kaum Muslimin dalam beribadah.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Umroh Keluarga Bahagia Di Awal Ramadhan Bersama Ustadz Yulian Purnama

Program “Umroh Keluarga Bahagia” adalah program umroh yang dirancang untuk jamaah yang berumrah bersama keluarga beserta anak-anaknya. Kami siapkan acara-acara menarik selama perjalanan di tanah suci.Hotel sangat dekat dengan Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, free kereta cepat Madinah-Makkah, bersama Batik Travel di bulan Februari 2026. Dibimbing oleh Ustadz Yulian Purnama –hafizhahullah

Paket 9 Hari, berangkat: 16 Februari 2026

📲 Tanya-tanya dulu juga boleh! 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Fawaid Kangaswad adalah platform dakwah sunnah melalui website fawaidkangaswad.id dan beberapa kanal di media sosial seperti whatsapp, telegram, instagram dan twitter.

Fawaid Kangaswad juga mengelola Ma’had Fawaid Kangaswad, yaitu program belajar Islam berbasis kitab kuning karya para ulama Ahlussunnah, melalui media grup Whatsapp.

Fawaid Kangaswad juga menyebarkan buku-buku serta e-book bermanfaat secara gratis.

Dukung operasional kami melalui:

https://trakteer.id/kangaswad
(transfer bank, QRIS, OVO, Gopay, ShopeePay, Dana, LinkAja, dll)

Atau melalui:

Bank Mandiri 1370023156371 a/n Yulian Purnama

Semoga menjadi pahala jariyah.

Trending