Tidak semua sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang berupa perbuatan disyariatkan untuk diikuti. Perbuatan-perbuatan beliau yang sifatnya manusiawi dan tidak beliau lakukan sebagai bentuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), maka maksimalnya hanya dihukumi mubah (boleh) untuk diikuti, kita tidak dituntut untuk mengikutinya. Untuk memahami masalah ini mari kita simak uraian ringkas ini.
Makna Sunnah
Sunnah secara bahasa artinya jalan hidup atau cara hidup. Dalam Mu’jam Al Wasith disebutkan:
السُّنَّةُ السِّيرَةُ حَمِيدَةً كانت أو ذَميمةً
“As Sunnah artinya cara hidup, mencakup yang baik maupun yang buruk”.
Sedangkan sunnah dalam istilah ushul fikih artinya semua yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Disebutkan dalam Ma’alim Ushulil Fiqhi:
السنة في اصطلاح الأصوليين هي ما صدر عن النبي صلى الله عليه و سلم غير القرأن
“Sunnah dalam istilah para ulama ushul fikih artinya semua yang berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selain Al Qur’an” (Ma’alim Ushulil Fiqhi ‘inda Ahlissunnah, 118).
Maka dengan pengertian ini, sunnah Nabi mencakup semua perkataan Nabi, perbuatan beliau, persetujuan beliau, tulisan beliau, isyarat dari beliau, keinginan-keinginan beliau dan sikap beliau ketika meninggalkan sesuatu.
Pembagian Sunnah
Para ulama membagi sunnah Nabi menjadi beberapa macam:
Pertama, Sunnah Qauliyah. Yaitu hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berbagai kesempatan dan tujuan. Para sahabat radhiallahu’anhum mendengar dan meriwayatkan hadits-hadits tersebut dari Nabi. Sunnah ini memiliki porsi terbesar dari sunnah Nabi. Contohnya adalah hadits: “Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya“, dan hadis: “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari di mana tidak ada naungan selain naungan-Nya“.
Kedua: Sunnah Fi’liyah. Yaitu perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berupa amalan dan praktek syariat. Para sahabat radhiallahu’anhum menyampaikan kepada kita dengan deskripsi yang akurat tentang berbagai aspek kehidupan beliau. Penyampaian ini bisa atas permintaan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, seperti sabdanya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”, dan hadits “Ambillah dariku manasik haji kalian”. Bisa juga tanpa permintaan beliau, seperti deskripsi para sahabat tentang apa yang beliau lakukan dalam peperangan, keputusan hukum dengan saksi dan sumpah, transaksi dalam utang-piutang, jual beli, dan lain-lain. Mereka (para sahabat) mengungkapkannya dengan perkataan: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan ini dan itu” atau “Beliau mengerjakan ini dan itu”.
Ketiga: Sunnah Taqririyah. Yaitu apa yang disetujui oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap perkataan dan perbuatan para sahabat dengan sikap diam tanpa pengingkaran, atau dengan persetujuan secara lisan atau perbuatan yang menunjukkan penerimaan dan keridhaan beliau. Persetujuan beliau terhadap suatu perkataan atau perbuatan, itu dianggap berasal dari beliau sendiri. Contohnya, adalah persetujuan beliau terhadap seorang sahabat yang ber-tayammum untuk salat karena tidak menemukan air, kemudian menemukan air setelah salat, tetapi tidak mengulang salatnya. Juga persetujuan beliau terhadap keputusan Ali dalam beberapa perkara hukum, serta persetujuan beliau terhadap sahabat yang memakan daging keledai liar dan dhab, serta penghargaan beliau terhadap pendapat Mu’adz dalam cara menetapkan hukum.
(Al Wajiz fi Ushulil Fiqhil Islami, 1/186).
Dari tiga jenis sunnah Nabi di atas, yang akan kita fokuskan adalah sunnah fi’liyah. Karena sunnah jibiliyah termasuk dalam sunnah fi’liyah atau perbuatan Nabi.
Jenis-Jenis Sunnah Fi’liyyah
Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi rahimahullah menjelaskan:
“Perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika dilihat dari sisi fitrah dan sisi syariat terbagi menjadi tiga jenis:
Jenis pertama: al-fi’lul jibilliy al-mahdh, perbuatan Nabi yang murni bersifat fitrah manusiawi, yaitu tindakan yang secara naluriah dilakukan oleh manusia karena sudah menjadi fitrahnya, seperti berdiri, duduk, makan, dan minum. Perbuatan ini tidak dilakukan oleh Nabi dalam rangka menetapkan syariat atau untuk diikuti umatnya. Oleh karena itu, tidak boleh mengatakan, “Saya duduk dan berdiri untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengikuti Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena beliau juga berdiri dan duduk”. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak melakukannya dalam rangka menetapkan syariat atau untuk diikuti umatnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan jibilliy ini menunjukkan hukum mubah, sementara sebagian ulama berpendapat bahwa itu menunjukkan hukum an-nadab (anjuran).
Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan sebagai bentuk penetapan syariat, tetapi sekedar menunjukkan kebolehannya.
Jenis kedua: al-fi’lu at-tasyri’iy al-madh, perbuatan Nabi yang murni penetapan syariat. Yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi dengan tujuan untuk diikuti umatnya dan sebagai bagian dari ajaran Islam. Seperti perbuatan Nabi dalam shalat dan haji. Hal ini dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” dan “Ambillah dariku manasik (tata cara) haji kalian”.
Jenis ketiga: Inilah yang menjadi fokus pembahasan di sini, yaitu al-fi’lul muhtamal lil jibilliy wat tasyri’iy, perbuatan Nabi yang memiliki kemungkinan termasuk dalam kategori jibilliy (fitrah) atau mungkin juga termasuk tasyri’iy (penetapan syariat)”
(Adhwa’ul Bayan, 4/300).
Sunnah Jibiliyyah
Maka tidak semua perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wajb atau dianjurkan untuk diikuti. Terdapat perbuatan Nabi yang merupakan sunnah jibiliyah yang Nabi lakukan karena naluri beliau sebagai manusia biasa, berupa perbuatan-perbuatan yang menjadi fitrah manusia.
Al-Imam Al-Juwaini rahimahullah dalam matan kitab ushul fiqh Al-Waraqat mengatakan,
فعلُ صاحب الشريعة لا يخلو إما أن يكون على وجه القُربة والطاعة أو غير ذلك، فإن دَلَّ دليل على الاختصاص به يُحمل على الاختصاص، وإن لم يدل لا يخصص به؛ لأن الله – تعالى– يقول: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ﴾ [الأحزاب: 21]، فيُحمل على الوجوب عند بعض أصحابنا، ومن أصحابنا من قال: يُحمل على الندب، ومنهم من قال: يُتوقف عنه، فإن كان على وجه غير القربة والطاعة، فيُحمل على الإباحة في حقه وحقنا
“Perbuatan shahibus syari’ah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lepas dari (dua keadaan): [1] dilakukan dalam rangka qurbah (ibadah) dan melakukan ketaatan, serta [2] yang dilakukan bukan dalam rangka qurbah atau melakukan ketaatan. Dan jika (perbuatan yang berupa qurbah) ditunjukkan oleh dalil bahwa ia khusus bagi Nabi, maka dimaknai sebagai kekhususan Nabi. Namun jika tidak ada dalil, maka tidak dimaknai sebagai kekhususan Nabi. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian” (QS. Al-Ahzab: 21). Maka perbuatan Nabi (yang berupa qurbah dan bukan kekhususan Nabi) dimaknai sebagai suatu kewajiban (bagi umat) menurut sebagian ulama madzhab kami. Dan sebagian ulama mengatakan: dimaknai sebagai penganjuran, dan sebagian ulama mengatakan: tawaqquf (tidak menentukan hukum apapun). Namun perbuatan Nabi yang dilakukan bukan dalam rangka qurbah atau melakukan ketaatan, maka dimaknai sekedar sebagai pembolehan bagi beliau dan bagi kita”.
Dalam Ma’alim Ushulil Fiqhi ‘Inda Ahlissunnah, disebutkan:
الأفعال الجبلية: كالقيام، والقعود، والأكل، والشرب، فهذا القسم مباح؛ لأن ذلك لم يقصد به التشريع ولم نتعبد به، ولذلك نسب إلى الجبلة وهي الخلقة.لكن لو تأسى به متأسٍ فلا بأس ، وإن تركه لا رغبة عنه ولا استكبارًا فلا بأس
“al-af’al al jibiliyah (perbutan Nabi yang merupakan fitrah), seperti berdiri, duduk, makan, dan minum. Jenis perbuatan ini hukumnya mubah (boleh) karena tidak dimaksudkan oleh Nabi sebagai syariat dan tidak dijadikan sebagai bentuk ibadah. Oleh karena itu, perbuatan ini dikaitkan dengan fitrah manusia. Namun, jika seseorang meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hal ini, tidak mengapa. Dan jika seseorang meninggalkannya, selama bukan karena membencinya dan bukan karena sombong, maka juga tidak mengapa” (Ma’alim Ushulil Fiqhi ‘Inda Ahlissunnah, hal 127 – 128).
Contoh-contoh sunnah jibiliyah adalah:
- Pilihan makanan dan minuman beliau
- Pilihan model pakaian beliau
- Pilihan bentuk rumah beliau
- Pilihan bentuk tempat tidur beliau
- Pilihan jenis kendaraan beliau
- Dan semisalnya.
Hal-hal di atas merupakan sunnah jibiliyyah yang tidak harus mengikutinya. Dan beliau memilih hal-hal di atas bukan sebagai ibadah atau tuntunan yang diinginkan untuk diikuti oleh umatnya.
Yang diikuti dari beliau adalah af’al tasyri’iyah, perbuatan-perbuatan Nabi yang bernilai ibadah dan dilakukan beliau agar diikuti serta diteladani oleh umatnya.
Namun boleh bersengaja mengikuti sunnah jibiliyah dengan niat ingin mencontoh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Orang yang melakukannya mendapatkan pahala dari sisi niatnya bukan perbuatannya.
Dalam Ma’alim Ushulil Fiqhi ‘Inda Ahlissunnah (hal. 128), disebutkan:
“Seseorang akan mendapatkan pahala dari sisi niatnya mencontoh perbuatan (jibiliyah) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Disebutkan bahwa Ibnu Umar radhiallahu’anhuma pernah sengaja mengenakan sandal sabtiyah (sandal kulit yang sudah dibersihkan bulunya) dan bersengaja mewarnai pakaiannya dengan warna kuning. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab:
وأما النعال السبتية فإني رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يلبس النعال التي ليس فيها شعر ويتوضأ فيها فأنا أحب أن ألبسها، وأما الصفرة فإني رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يصبغ بها فأنا أحب أن أصبغ بها
“Adapun sandal sabtiyah, aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memakai sandal yang tidak berbulu dan berwudhu dengannya, maka aku pun suka mengenakannya. Dan mengenai warna kuning, aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mewarnai pakaiannya dengan warna kuning, maka aku pun suka mewarnai pakaianku dengannya” (HR. Al-Bukhari, 1/267, no. 166).
Juga diriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i pernah berkata kepada salah seorang muridnya:
اسقني، فشرب قائمًا، فإنه – صلى الله عليه وسلم – شرب قائمًا
“Ambilkan aku minum! Lalu beliau minum sambil berdiri, beliau lali berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga pernah minum sambil berdiri”.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Ahmad pernah melakukan tassarri dan bersembunyi selama tiga hari, kemudian berpindah ke tempat lain. Ia melakukan hal itu sebagai bentuk mencontoh perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersembunyi di gua selama tiga hari. Imam Ahmad lalu berkata:
ما بلغني حديث إلا عملت به حتى أعطى الحجام دينارًا
“Tidaklah sampai kepadaku satu hadis pun kecuali aku mengamalkannya, hingga ketika aku mengetahui bahwa Nabi ﷺ memberikan satu dinar kepada tukang bekam, maka aku pun melakukannya” (Lihat: Syarh al-Kaukab al-Munir, 2/181-182)” [selesai nukilan].
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.






Leave a comment