Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’, telah menceritakan kepada kami An-Nahhas bin Qahm, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Syaddad Abu ‘Ammar, dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i, ia berkata:
Bahwa Rasulullah Shallallahu’laihi Wasallam bersabda:
أنا وامرأةٌ سفعاءُ الخدينِ كهاتينِ يومَ القيامةِ – وأومأ الراوي بالسبابةِ والوسطَى امرأةٌ آمَت من زوجِها ذات منصبٍ وجمالٍ حبسَت نفسَها على يَتاماها حتى بانوا أو ماتوا
“Aku (akan bersama) dengan seorang wanita yang pipinya kehitaman pada hari kiamat seperti ini” (beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah. Yaitu seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya (menjadi janda), padahal memiliki kedudukan dan kecantikan, namun ia menahan dirinya (tidak menikah lagi) demi anak-anak yatimnya hingga mereka tumbuh dewasa atau meninggal dunia”
(HR. Abu Daud no.5149, Ahmad no.24006).
Hadits ini dha’if (lemah) karena terdapat perawi bernama An-Nahhas bin Qahm yang disepakati dha’ifnya.
Hadits ini didhaifkan oleh Al Munawi dalam Kasyful Manahij (4/303), Al Mundziri dalam Mukhtashar Sunan Abu Daud (3/425), dan Al Albani dalam Dha’if Abu Daud (no.5147).
Sehingga hadits bukan hujjah untuk menganjurkan para janda untuk tidak menikah lagi.
Demikian juga para ulama yang menjelaskan hadits ini kebanyakannya membawakan hadits ini dalam pembahasan keutamaan merawat anak yatim.
Maka yang menjadi poin adalah tentang merawat anak yatimnya bukan tentang terus-menerus menjanda.
Adapun bagi wanita yang menjanda, apakah lebih utama menikah lagi ataukah lebih utama menjanda?
Ini kembali kepada hukum menikah, yaitu tergantung maslahat dan mudharat. Jika besar maslahatnya untuk menikah lagi, maka lebih utama untuk menikah lagi. Namun jika lebih besar mudaratnya, maka lebih utama tidak menikah lagi.
Al Qurthubi rahimahullah berkata:
قال علماؤنا: يختلف الحكم في ذلك باختلاف حال المؤمن من خوف العنت الزنى، ومن عدم صبره، ومن قوته على الصبر، وزوال خشية العنت عنه وإذا خاف الهلاك في الدين أو الدنيا فالنكاح حتم ومن تاقت نفسه إلى النكاح فإن وجد الطَّوْل فالمستحب له أن يتزوج. وإن لم يجد الطول فعليه بالاستعفاف ما أمكن ولو بالصوم لأن الصوم له وِجاءٌ كما جاء في الخبر الصحيح
“Para ulama kita berkata, hukum nikah itu berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing orang dalam tingkat kesulitannya menghindari zina dan juga tingkat kesulitannya untuk bersabar. Dan juga tergantung kekuatan kesabaran masing-masing orang serta kemampuan menghilangkan kegelisahan terhadap hal tersebut. Jika seseorang khawatir jatuh dalam kebinasaan dalam agamanya atau dalam perkara dunianya, maka nikah ketika itu hukumnya wajib. Dan orang yang sangat ingin menikah dan ia memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar untuk menikah hukumnya mustahab baginya. Jika ia tidak memiliki sesuatu yang tidak bisa dijadikan mahar, maka ia wajib untuk isti’faf (menjaga kehormatannya) sebisa mungkin. Misalnya dengan cara berpuasa, karena dalam puasa itu terdapat perisai sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih”.
(Tafsir Al Qurthubi, 12/201).
Dan kita juga telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memiliki 11 istri, dan 10 di antaranya adalah janda. Andaikan janda secara mutlak tidak dianjurkan menikah lagi tentu beliau tidak akan menikahi mereka.
Wallahu a’lam.
Fawaid Kangaswad | https://lynk.id/kangaswad






Leave a comment