Pertanyaan:
Benarkah bahwa risywah (uang suap; uang sogokan) itu dibolehkan jika tujuannya baik?
Jawaban:
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat pemberi suap dan penerima suap. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لعنةُ اللَّهِ علَى الرَّاشي والمُرتَشي
“Laknat Allah terhadap orang yang memberi suap dan menerima suap” (HR. Ibnu Majah no. 1885, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhu juga, beliau berkata:
لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ الرَّاشي والمُرتَشي
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap” (HR. at-Tirmidzi no. 1337 dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الراشي والمُرتَشي في النارِ
“Orang yang memberi suap dan menerima suap tempatnya di neraka” (HR. Ath Thabarani no. 2026, dihasankan oleh Al Mundziri dalam At Targhib [3/194] dan Ibnu Mulaqqin dalam Al Khulashah [2/53]).
Bahkan dalam riwayat dari Tsauban radhiallahu’anhu ada tambahan “ra’isy“. Disebutkan bahwa :
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ والمُرتَشيَ والرَّائِشَ الَّذي يَمْشي بيْنهُما
“Allah melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap serta melaknat ar raa’isy, yaitu orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima suap” (HR. Al Hakim no. 7264, dengan sanad yang lemah).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa memberi dan menerima risywah (sogokan) adalah dosa besar. Pelakunya dilaknat oleh Allah Ta’ala. Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam kitab Al-Kabair menyebutkan risywah sebagai dosa besar.
Ini modal dasar yang harus kita pegang dalam masalah ini. Yaitu bahwa menerima dan memberi risywah adalah dosa besar. Sehingga semua orang yang dihadapkan pada perkara ini wajib bertakwa kepada Allah dan tidak boleh meremehkannya.
Kemudian, memang ada beberapa transaksi yang hukumnya boleh bagi pemberi namun haram bagi penerima. Dalilnya hadits dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُنِي الْمَسْأَلَةَ فَأُعْطِيهَا إِيَّاهُ فَيَخْرُجُ بِهَا مُتَأَبِّطُهَا ، وَمَا هِيَ لَهُمْ إِلا نَارٌ ، قَالَ عُمَرُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَلِمَ تُعْطِيهِمْ ؟ قَالَ : إِنَّهُمْ يَأْبَوْنَ إِلا أَنْ يَسْأَلُونِي ، وَيَأْبَى اللَّهُ لِي الْبُخْلَ
“Sesungguhnya salah seorang dari mereka datang kepadaku meminta sesuatu, lalu aku memberikannya. Kemudian ia pergi sambil membawa barang tersebut di ketiaknya. Padahal itu tidak lain hanyalah api neraka bagi mereka”. Umar lalu berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, mengapa engkau memberikannya kepada mereka?”. Nabi menjawab: “Sesungguhnya mereka tidak mau kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak mengizinkan aku untuk bersifat kikir”.(HR. Ahmad no.10739, dishahihkan Al Albani dalam Shahih at-Targhib no.844).
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dibolehkan memberi, namun bagi penerima hukumnya haram karena Nabi katakan sebagai api neraka.
Demikian juga berlaku dalam kasus risywah yang diberikan seseorang untuk menghentikan kezaliman terhadapnya atau menuntut hak yang seharusnya ia dapatkan. Maka ia boleh memberikan risywah namun tetap haram hukumnya bagi penerimanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:
فأما إذا أهدى له هدية ليكف ظلمه عنه أو ليعطيه حقه الواجب كانت هذه الهدية حراما على الآخذ , وجاز للدافع أن يدفعها إليه
“Adapun jika ada orang menghadiahkan suatu hadiah kepadanya agar dia menghentikan kezalimannya atau agar dia memberikan hak yang memang wajib diberikan, maka hadiah tersebut haram bagi yang menerimanya, namun boleh bagi yang memberikannya untuk memberikannya kepadanya” (al-Fatawa a-Kubra, 4/174).
Syaikhul Islam juga menjelaskan:
قَالَ الْعُلَمَاءُ : يَجُوزُ رِشْوَةُ الْعَامِلِ لِدَفْعِ الظُّلْمِ لا لِمَنْعِ الْحَقِّ ، وَإِرْشَاؤُهُ حَرَامٌ فِيهِمَا
“Para ulama mengatakan: Boleh memberikan sogokan kepada petugas (pejabat) untuk menolak kezaliman, bukan untuk mencegah orang lain mendapat haknya. Namun menerima suap dalam kedua kondisi tersebut tetap haram ” (Majmu’ al-Fatawa, 29/252).
As-Subki rahimahullah berkata:
وإن أعطيت للتوصل إلى الحكم بحق فالتحريم على من يأخذها , وأما من يعطيها فإن لم يقدر على الوصول إلى حقه إلا بذلك جاز ، وإن قدر إلى الوصول إليه بدونه لم يجز
“Adapun jika risywah itu diberikan untuk mendapatkan haknya, maka keharamannya berlaku bagi orang yang menerimanya. Sedangkan bagi orang yang memberikannya, jika ia tidak mampu mendapatkan haknya kecuali dengan cara itu, maka boleh memberikan risywah. Namun jika ia mampu mendapatkannya tanpa itu, maka tidak boleh memberikan risywah” (Fatawa as-Subki, 1/204).
Dalam Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah disebutkan:
وفي “الأشباه” لابن نجيم (حنفي) , ومثله في “المنثور” للزركشي (شافعي) : ما حرم أخذه حرم إعطاؤه , كالربا ومهر البغي وحلوان الكاهن والرشوة للحاكم إذا بذلها ليحكم له بغير الحق , إلا في مسائل : في الرشوة لخوفٍ على نفسه أو ماله أو لفك أسير أو لمن يخاف هجوه
“Dalam kitab Al-Asybah karya Ibnu Nujaim (ulama Hanafiyah), dan juga terdapat dalam Al-Manṯsur karya Az-Zarkasyi (ulama Syafi’iyah), disebutkan kaidah: “Apa yang haram untuk diterima, maka haram pula untuk diberikan (haram bagi pemberi dan penerima)”, seperti riba, upah pelacur, upah dukun, dan sogokan kepada hakim jika diberikan agar ia memutuskan perkara dengan tidak sesuai kebenaran. Kecuali dalam beberapa permasalahan, seperti: sogokan yang diberikan karena takut atas keselamatan diri atau hartanya, sogokan untuk menebus tawanan, atau sogokn kepada orang yang ditakuti cercaan atau celaannya (untuk menjaga kehormatan)”.(Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 6/166-167).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
إذا كان حقُّه يضيع ولا يتيسَّر له أخذ حقّه إلا بمالٍ يبذله لشخصٍ يتوصل به إلى حقِّه، ولا يضرُّ غيره إذا بذل هذا المال، بل إنسانٌ أخذ مالك وضرَّك، وله مثلًا صاحبٌ أو له خادمٌ يستطيع أن يشفع لك، فتُعطيه مالًا ليشفع لك وليتسبب في إخراج مالك من هذا الظالم؛ فلا حرج في ذلك
“Jika haknya akan hilang dan ia tidak dapat mengambil haknya kecuali dengan memberikan uang kepada seseorang yang bisa membantunya mendapatkan hak tersebut, dan tidak ada pihak lain yang dirugikan oleh pemberian uang ini. Misalnya, ada seseorang yang telah mengambil hartamu dan telah merugikanmu, lalu orang itu memiliki teman atau pelayan yang bisa memberi bantuan kepadamu, maka engkau memberinya uang agar ia membantumu mengeluarkan hartamu dari orang yang zalim itu, maka tidak ada dosa dalam perbuatan tersebut” (Fatawa ad-Durus, no.154).
Dari penjelasan para ulama di atas, kita ketahui bahwa ada kondisi-kondisi seseorang boleh memberikan risywah (sogokan), yaitu:
- Untuk mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan
- Untuk menyelamatkan nyawa atau harta dari kezaliman
- Untuk menebus tawanan
- Untuk menjaga kehormatan yang terancam rusak padahal tidak layak dirusak
atau yang semakna dengan kondisi-kondisi di atas.
Namun kebolehan melakukan risywah dalam kondisi di atas adalah karena darurat. Sehingga ini termasuk dalam kaidah adh-dharuratu tubihul mahzhurat(kondisi darurat membolehkan sesuatu yang sebenarnya terlarang). Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
إذا كان سيضيع الحق فهذه ضرورة، والإثم عليه، إذا كان ضرورة، الشرط الضرورة
“Jika hak anda terancam akan hilang (kecuali harus memberi sogokan), maka ini kondisi darurat. Yang berdosa adalah yang menerima sogokan. Namun ini hanya dalam kondisi darurat. Syaratnya harus dalam kondisi darurat” (Fatawa Durus Bulughul Maram, kitabul Buyu’, bab ar-Risywah no. 11).
Sehingga kebolehan melakukannya harus memperhatikan tiga syarat:
- Dilakukan untuk menunjang suatu perkara yang haq (benar) bukan kebatilan.
- Tidak ada cara lain kecuali harus dengan memberi risywah. Selama masih ada cara lain, maka tetap tidak boleh memberi risywah dan tetap dosa besar.
- Tidak boleh ada pihak lain yang dirugikan atau dizalimi.
Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah benar boleh risywah jika tujuannya baik? Jawabannya, ini pernyataan yang kurang tepat. Karena ukuran baik-buruk bisa subjektif bagi masing-masing orang. Dan hampir bisa dipastikan semua orang yang melakukan risywah merasa tujuannya baik. Contohnya:
- Orang yang menyogok orang dalam untuk mendapatkan pekerjaan, mengatakan tujuannya agar ia bisa memberi nafkah.
- Orang yang menyogok hakim untuk memenangkan kasusnya, mengatakan tujuannya agar kehormatannya terjaga, padahal ia memang bersalah.
- Orang yang menyogok pak polisi ketika ditilang, mengatakan tujuannya agar ia tidak kerepotan mengurus administrasi tilang.
- Orang yang menyogok agar tidak perlu mengantre, beralasan untuk menghemat waktu dan itu adalah kebaikan.
Dst.
Semuanya mengaku tujuannya baik. Oleh karena itu risywah tidak dibenarkan sekedar dengan alasan niat baik saja. Namun yang benar adalah risywah itu menjadi boleh hanya dalam kondisi darurat dengan memperhatikan tiga syarat yang disebutkan di atas.
Wallahu a’lam.






Leave a comment