Mu‘tazilah mengambil keyakinan-keyakinan mereka dari berbagai sumber. Di antaranya dari berbagai sumber keagamaan dan filsafat, serta mereka juga mendapat pengaruh dari berbagai pemikiran dan aliran yang berbeda-beda. Demikian juga metode mereka dalam menerima dan beristidlal. Yang memang ketika itu sedang berkembang pada masa kemunculan Mu‘tazilah dan setelahnya. Ditambah lagi dengan apa yang mereka ciptakan berupa keyakinan-keyakinan baru, berupa al-ushul al-khamsah (lima prinsip pokok) mereka dan selainnya.

Sebagian ulama peneliti berpendapat bahwa kaum Mu‘tazilah telah mencampurkan antara Islam dan pengaruh-pengaruh asing, seperti filsafat Yunani, warisan agama Yahudi dan Nasrani, serta logika Aristoteles, dalam merumuskan pandangan-pandangan mereka.

Pengaruh Pemikiran Firqah-Firqah Lain Terhadap Mu’tazilah

Pertama: Qadariyyah
Gagasan tentang al-ikhtiyar (kebebasan memilih perbuatan secara mutlak) dan kuasa manusia atas perbuatannya sendiri (tanpa campur tangan takdir) diambil oleh Mu‘tazilah dari kelompok Qadariyyah. Dalam pokok-pokok ajaran yang berkaitan dengan masalah qadar, Mu‘tazilah merupakan kelanjutan dari Qadariyyah yang telah dipelopori oleh Ma‘bad al-Juhani, Ghailan ad-Dimasyqi, dan para pengikutnya.

Kedua: Jahmiyyah
Kaum Mu‘tazilah menerima dari Jahmiyyah akidah tentang penafian sifat-sifat Allah, keyakinan bahwa al-Qur’an itu makhluk, serta penolakan terhadap akidah melihat Allah dengan mata secara langsung di akhirat. Meski mereka berbeda dengan Jahmiyyah dalam lafaz dan beberapa rinciannya. Karena itu kita dapati sebagian ulama salaf menyebut Mu‘tazilah dengan nama Jahmiyyah dan tidak membedakan antara keduanya.

Ketiga: Khawarij
Mu‘tazilah mengambil dari Khawarij hukum tentang pelaku dosa besar di akhirat (yaitu kekal di neraka). Juga mengambil pendapat mereka mengenai syafa’at. Serta mengambil pula dari mereka prinsip amar makruf nahi mungkar dan pemberontakan terhadap para penguasa.

Keempat: Syiah
Mu‘tazilah sejalan dengan Syiah dalam banyak pandangan terkait masalah imamah, seperti keyakinan wajibnya keberadaan seorang imam pada setiap masa. Mereka juga membolehkan takwil. Bahkan Ibn al-Murtadha berpendapat bahwa Wasil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubayd (dua tokoh besar Mu‘tazilah) berguru kepada Abu Hashim bin Muhammad bin al-Hanafiyyah (Al Muniyyah wal Amal, hal.22).

Kesimpulannya, Mu‘tazilah tidak merasa keberatan dalam membangun akidah mereka di atas landasan yang mencocoki berbagai pemikiran dan pendapat yang berkembang pada masa mereka, khususnya pandangan kelompok-kelompok yang menyelisihi Ahlussunnah.

Mu’tazilah Juga Mendapat Pengaruh Dari Agama Lain

Jazirah Arab telah menyaksikan terbitnya matahari Islam. Namun, Islam tidak terus berada di jazirah Arab saja, tidak lama kemudian kaum Muslimin keluar dair sana menaklukan berbagai negeri. Dan mereka menundukkan sebagian besar wilayah Timur di bawah kekuasaan mereka. Di negeri-negeri yang mereka taklukkan, mereka menemukan berbagai kaum yang menganut beragam agama.

Di Syam dan Mesir, agama Nasrani dan Yahudi tersebar luas. Di Irak dan Persia, agama Majusi dengan berbagai sektenya, seperti Ats-Tsanuwiyyah, Zaradustiyah, Manawiyyah, dan Mazdakiyah telah mendominasi. Maka kaum Muslimin pun harus hidup berdampingan dengan para penganut agama-agama itu, dan mereka mau-tidak-mau harus menjalin hubungan yang terus-menerus dengan mereka. Akibatnya, sebagian kaum Muslimin terpengaruh oleh pandangan dan pemikiran mereka, dan sebagian keyakinan mereka menyelip ke tengah kaum Muslimin akibat interaksi dan pengaruh yang berkesinambungan tersebut. Ini sesuatu yang tidak dibenarkan dan tidak diridai oleh para imam dari kalangan salaf.

Di antara pengaruh tersebut adalah:

1. Penerjemahan sebagian kitab-kitab kuno yang diwariskan dari bangsa Persia, India, Yunani, dan Romawi ke dalam bahasa Arab.
Dalam kitab-kitab tersebut terdapat berbagai ilmu dan filsafat yang memberikan pengaruh buruk terhadap akidah kaum Muslimin, dan menyeret mereka ke dalam perdebatan-perdebatan teologis (munaẓharat). Di mana kelompok Mu‘tazilah mendapatkan porsi terbesar dalam hal ini, karena mereka memiliki akses dan keterlibatan dalam ilmu kalam.

2. Masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam.
Mereka datang dengan berbagai pengetahuan yang berbeda-beda dan hal itu memengaruhi akidah kaum Muslimin. Orang-orang yang masuk Islam ini terbagi menjadi beberapa kelompok:

  • Sebagian dari mereka masuk Islam dan meninggalkan keyakinan lamanya, namun tanpa sengaja mereka tetap membawa sebagian keyakinan lama itu dan menyebarkannya di tengah masyarakat mereka. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap akidah kaum Muslimin.
  • Sebagian lainnya memeluk Islam bukan karena iman, melainkan karena tujuan duniawi seperti menginginkan harta atau kedudukan. Ada pula yang masuk Islam dengan motivasi kebencian terhadap kaum Muslimin yang telah mengalahkan agama mereka dan meruntuhkan kerajaan mereka. Mereka menampakkan keislaman, namun menyembunyikan permusuhan. Mereka terus-menerus memerangi Islam secara tersembunyi dan menimbulkan makar. Mereka sangat berbahaya bagi Islam, karena selalu menebarkan rasa dengki dan amarah yang ada di dada mereka, serta menyebarkan di tengah kaum Muslimin pemikiran-pemikiran yang tidak diakui oleh akidah Islam. Semata-mata karena keinginan untuk merusak dan menodai akidah tersebut.
  • Ada juga di antara mereka yang tetap memegang agama asalnya, karena Islam memberikan kebebasan beribadah dan tidak mencampuri urusan pribadi mereka, selama mereka membayar jizyah.

Ketika pilar-pilar negara Islam telah kokoh dan aktivitasnya semakin meluas pada masa Bani Umayyah, dan ketika orang-orang Arab tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam urusan administrasi, maka mereka terpaksa bergantung kepada penduduk kota-kota besar yang terpelajar yang telah menyerap peradaban Persia dan Byzantium dalam mengurus kepentingan negara. Maka kaum Muslimin pun menyerahkan pekerjaan-pekerjaan di kantor administrasi kepada orang-orang kafir. Dengan keadaan demikian, orang-orang kafir hidup di tengah masyarakat kaum Muslimin dan selalu berinteraksi dengan mereka. Interaksi itu tentu menimbulkan pertukaran keyakinan dan pemikiran (Tarikh Dimasyqa, 72/ 100).

Di antara agama yang memberikan pengaruh pada keyakinan Mu’tazilah adalah:

1. Yahudi

Orang-orang Yahudi memiliki pengaruh dalam kemunculan kelompok Mu‘tazilah. Merekalah yang memberikan gagasan tentang keyakinan khalqul Qur’an (Al Qur’an adalah makhluk). Orang pertama dari mereka yang menyebarkannya adalah Labid bin al-A’sham, musuh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang juga berpendapat bahwa Taurat itu adalah makhluk. Kemudian keponakannya, Thalut, yang mengambil gagasan tersebut dari Labid dan menulis buku tentang akidah khalqul Qur’an. Dialah orang pertama dalam Islam yang melakukan hal itu. Thalut ini adalah seorang zindiq, dan ia menyebarkan paham zindiq.

Al-‘Ijli berkata tentang Bisyr al-Marrisi (salah seorang tokoh Mu’tazilah) :

حدَّثنا أبو مُسلِمٍ، حدَّثني أبي، قال: “رأَيتُ ‌بِشرًا المِرِّيسيَّ -عليه لعنةُ اللهِ- مرَّةً واحِدةً، شيخٌ قصيرٌ دميمُ المنظَرِ، وَسِخُ الثِّيابِ، وافِرُ الشَّعرِ، أشبَهُ شيءٍ باليهودِ، وكان ‌أبوه ‌يهوديًّا صبَّاغًا بالكوفةِ في سوقِ المراضِعِ”، ثُمَّ قال: “لا يرحَمُه اللهُ؛ فلقد كان فاسِقًا

“Abu Muslim menceritakan kepada kami: ayahku menceritakan kepadaku: ia berkata: ‘Aku pernah melihat Bisyr al-Marrisi (semoga Allah melaknatnya) sekali saja. Ia seorang lelaki tua, pendek, buruk rupa, pakaiannya kotor, rambutnya lebat. Ia sangat mirip dengan orang Yahudi. Ayahnya dulu seorang Yahudi, seorang tukang celup di Kufah, di pasar al-Maradhi‘. Lalu ayah dari Abu Muslim berkata: ‘Semoga Allah tidak merahmatinya; sungguh ia adalah seorang fasik’” (Ma’rifatu ats-Tsiqat, 1/247)

Dan al-Marwazi rahimahullah berkata:

مَن كان أبوه ‌يهوديًّا، أَيشٍ تراه يكونُ

“Aku mendengar Abu ‘Abdillah (maksudnya Ahmad bin Hanbal)menyebut Bisyr al-Marrisi. Ia berkata: ‘Jika ayahnya seorang Yahudi, kira-kira bagaimana lagi jadinya dia?’” (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Bathah, 6/112).

2. Nasrani

Agama Nasrani memiliki pengaruh besar dalam munculnya aliran Mu‘tazilah, bahkan lebih besar daripada selainnya. Dalam kitab-kitab para sejarawan terdapat sejumlah teks yang menunjukkan bahwa sebagian tokoh ahli bid‘ah dari para pendahulu Mu‘tazilah telah mengambil sebagian ucapan mereka dari kaum Nasrani.

Disebutkan bahwa orang pertama yang menolak meyakini takdir di kalangan umat Islam adalah Ma‘bad al-Juhani, dan ia mengambil hal itu dari seorang Nasrani dari kalangan al-Asawirah (tentara Persia) bernama Abu Yunus al-Aswari.

Ibnu Hajar berkata tentang al-Aswari:

أوَّلُ مَن تكلَّم بالقَدَرِ، وكان بالبَصرةِ، فأخَذ عنه ‌مَعبَدٌ الجُهَنيُّ

“Dialah orang pertama yang berbicara tentang qadar. Ia berada di Basrah, lalu Ma‘bad al-Juhani mengambil hal tersebut darinya” (Lisanul Mizan, 6/335).

Ibnu Qutaibah meriwayatkan bahwa Ghailan ad-Dimasyqi (tokoh penyebar paham qadariyah terbesar setelah al-Juhani) adalah seorang Qibthi. Karena itu ia disebut “Ghailan al-Qibthi” sebagai isyarat kepada asal-usulnya yang Nasrani (lihat kitab Al Ma’arif, hal.625).

Di antara bukti pengaruh kaum Nasrani terhadap Mu‘tazilah adalah adanya kemiripan antara banyak keyakinan mereka dengan ucapan-ucapan Yahya ad-Dimasyqi (Yohannes), serta dengan persoalan-persoalan keagamaan yang dibahasnya. Tidak mungkin kemiripan tersebut muncul secara kebetulan atau hanya karena kesamaan lintasan pikiran semata, karena kemiripan itu tidak hanya pada satu pendapat atau satu gagasan, tetapi tampak jelas dalam berbagai persoalan. Di antaranya:

1. Meyakini bahwa kebaikan dari Allah Ta‘ala adapun keburukan bukan dari Allah Ta’ala

Yahya ad-Dimasyqi berkata bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, sumber segala kebaikan, dan bahwa semua karunia adalah anugerah dari-Nya. Dengan semua itu, manusia menjadi mampu melakukan kebaikan. Karena Allah Maha Baik, maka Dia mengeluarkan manusia dari ketiadaan agar manusia ikut serta dalam limpahan kebaikan-Nya. Dia menciptakan makhluk agar mereka menikmati nikmat-nikmat-Nya dan mengambil bagian dari kebaikan yang diberikan-Nya.

Kaum Mu‘tazilah juga berpendapat bahwa Allah tidak melakukan keburukan, dan tidak boleh disifatkan memiliki kemampuan untuk melakukan keburukan. Semua yang baik datang dari Allah, sedangkan semua yang buruk bukan dari Allah.

2. Keyakinan tentang “al-Ashlah”

Yahya ad-Dimasyqi berpendapat bahwa Allah menyiapkan bagi setiap sesuatu di alam keberadaan apa yang paling maslahat baginya. Ini mirip dengan keyakinan al-aṣlaḥ yang memiliki pengaruh penting dalam sejarah Mu‘tazilah.

Mu’tazilah meyakini bahwasanya wajib bagi Allah untuk menjadikan pada diri para hambanya ash-shalah (yang maslahat) atau al-ashlah (yang paling maslahat) untuk mereka. Walaupun mereka berbeda pendapat apakah yang wajib bagi Allah adalah ash-shalah atau al-ashlah? Namun mereka sepakat bahwa jika Allah tidak menjadikan ash-shalah atau al-ashlah pada diri hamba maka Allah zalim.

3. Penafian sifat-sifat Allah

Yahya menafikan sifat-sifat azali bagi Allah. Alasannya adalah bahwa kita tidak mampu menentukan ataupun memahami hakikat Allah, karena kodrat makhluk mustahil memahami apa yang berada di atas kodratnya. Ia berkata bahwa Allah tidak memberi kita kemampuan untuk mengetahui dan memahami-Nya. Mereka memandang bahwa orang yang menetapkan sifat-sifat dzatiyah bagi Allah (seperti sifat qadim, mendengar, melihat), telah melakukan kekeliruan. Sebab sifat-sifat tersebut melazimkan adanya komposisi, sehingga Allah menjadi tersusun dari berbagai unsur, dan hal itu tidak mungkin. Sebab Allah adalah satu unsur yang tidak tersusun dari unsur-unsur.

Kalaupun Allah memiliki sifat, maka harus berupa sifat-sifat negatif (penafian). Misalnya: “Allah adalah al-Awwal” maknanya adalah bahwa Dia tidak diciptakan dan tidak mungkin binasa. Bila dikatakan “Allah itu baik”, maknanya adalah bahwa Dia tidak melakukan keburukan, dan seterusnya.

Keyakinan penafian sifat-sifat ini juga dianut oleh Mu‘tazilah. Bahkan Mu’tazilah menjadikannya salah satu dari lima prinsip utama mereka.

4. Majaz dan takwil

Yahya ad-Dimasyqi membahas persoalan tajsim (penyerupaan Allah dengan makhluk secara fisik) dan tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan sifat makhluk). Ia mengatakan bahwa dalam kitab suci Nasrani terdapat banyak kata yang mengandung makna tajsim dan tasybih. Dalam ucapan manusia tentang Allah juga terdapat sejumlah ungkapan yang mengarah kepada keduanya. Karena itu, apabila ditemukan ungkapan-ungkapan semacam itu, baik dalam kitab suci maupun selainnya, maka harus dipahami sebagai majaz atau simbol-simbol yang membantu manusia untuk mengenal Allah. Ungkapan tersebut harus ditakwil. Misalnya: “pendengaran Allah” maknanya kesiapan Allah untuk menerima doa, “penglihatan Allah” maknanya kemampuan Allah mengetahui segala sesuatu dan mengawasi segalanya, dan sebagainya.

Kaum Mu‘tazilah mengikuti metode ini: mereka menolak hadits-hadits dan menakwil ayat-ayat yang mengandung makna sifat istiwa’ (Allah tinggi menetap di atas Arsy), sifat maji’ (datang di hari Kiamat), sifat turun ke langit dunia, sifat mendengar, sifat melihat, sifat kalam (berfirman), dan yang semisalnya.


Diterjemahkan dari:

Mausu’atul Firaq Durar As Saniyah, dibawah bimbingan Syaikh Alwi bin Abdulqadir As Saqqaf.

Umroh Keluarga Bahagia Di Awal Ramadhan Bersama Ustadz Yulian Purnama

Program “Umroh Keluarga Bahagia” adalah program umroh yang dirancang untuk jamaah yang berumrah bersama keluarga beserta anak-anaknya. Kami siapkan acara-acara menarik selama perjalanan di tanah suci.Hotel sangat dekat dengan Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, free kereta cepat Madinah-Makkah, bersama Batik Travel di bulan Februari 2026. Dibimbing oleh Ustadz Yulian Purnama –hafizhahullah

Paket 9 Hari, berangkat: 16 Februari 2026

📲 Tanya-tanya dulu juga boleh! 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Fawaid Kangaswad adalah platform dakwah sunnah melalui website fawaidkangaswad.id dan beberapa kanal di media sosial seperti whatsapp, telegram, instagram dan twitter.

Fawaid Kangaswad juga mengelola Ma’had Fawaid Kangaswad, yaitu program belajar Islam berbasis kitab kuning karya para ulama Ahlussunnah, melalui media grup Whatsapp.

Fawaid Kangaswad juga menyebarkan buku-buku serta e-book bermanfaat secara gratis.

Dukung operasional kami melalui:

https://trakteer.id/kangaswad
(transfer bank, QRIS, OVO, Gopay, ShopeePay, Dana, LinkAja, dll)

Atau melalui:

Bank Mandiri 1370023156371 a/n Yulian Purnama

Semoga menjadi pahala jariyah.

Trending