Setelah kita mengetahui makna manhaj salaf dan wajibnya berpegang pada manhaj salaf, akan muncul satu pertanyaan: “Bolehkah menisbatkan diri kepada manhaj salaf?”. Seperti dengan mengatakan “saya adalah salafi”, “kami adalah salafiyun”, dan semisalnya. Atau menggunakan isim nisbah pada nama, seperti “Fulan bin Fulan as-Salafi”. Apakah ini semua dibolehkan?
Menisbatkan diri kepada manhaj salaf hukumnya boleh sebagai bentuk menampakkan diri dan menjelaskan bahwa seseorang mengikuti manhaj salaf dan berlepas diri dari manhaj-manhaj yang menyimpang. Dan wajib menerima penisbatan tersebut dan tidak mengingkarinya jika ada orang lain yang menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf. Selama orang tersebut nampak pada dirinya pokok-pokok akidah dan manhaj salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق، فإن مذهب السلف لايكون إلا حقاً
“Tidak tercela bagi siapapun yang menampilkan diri dengan madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima penisbatan tersebut menurut kesepakatan ulama. Karena madzhab salaf adalah kebenaran” (Majmu’ al-Fatawa, 4/149).
Syaikh Abdussaalam As Suhaimi menjelaskan: “Maka orang-orang mulia dari kalangan ulama dan yang lainnya membolehkan penggunaan istilah “salafi” “salafiyyah” atau “salafiyyin.” Yang dimaksud dengan istilah tersebut ialah orang yang berjalan di atas manhaj (cara beragama) dan metode para salaf. Sebagian penulis kontemporer yang menulis tentang mazhab-mazhab Islam menyebut istilah “salafiyin”, maksudnya orang-prang yang mengikuti para pendahulu mereka dari kalangan para imam kaum Muslimin” (Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal.44).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani pernah ditanya tentang masalah ini dalam sebuah dialog:
Syaikh Al-Albani: “Jika ditanyakan kepadamu, “Apa madzhabmu?”, apa jawaban anda?
Penanya: “Saya seorang Muslim”
Syaikh Al-Albani: “Itu tidak cukup.”
Penanya: “Allah telah menamakan kita dengan sebutan Muslim“,
Lalu penanya membacakan ayat Allah Subhanahu Wata’ala:
هُوَ سَمَّىكُمُ الْمسْلِمِينَ مِن قَبْلُ
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu“ (QS Al-Hajj: 78).
Syaikh Al-Albani: “Ini akan merupakan jawaban yang benar jika kita berada pada masa paling awal (Islam) sebelum golongan-golongan bermunculan dan tersebar. Akan tetapi jika kita bertanya, saat ini, kepada setiap Muslim dari golongan-golongan ini yang mana kita berbeda dengannya dalam hal akidah, jawabannya tidak akan berbeda dari kata ini (muslim). Semuanya, Syiah Rafidhah, Khawarij, Nusayri Alwi, akan berkata, “Saya seorang Muslim” Karenanya hal itu tidak lagi cukup untuk masa sekarang ini”.
Penanya: “Jika demikian saya akan menjawab, ‘Saya seorang Muslim yang mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah‘”
Syaikh Al Albani: “Ini pun tidak cukup!”
Penanya: “Mengapa?”
Syaikh Al Albani: “Apakah anda menemukan siapa saja di antara contoh yang telah kita sebutkan tadi berkata “Saya seorang Muslim yang tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah?” Siapa di antara mereka yang berkata, “Saya tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah?”.
…
Penanya: “Jika demikian Saya adalah seorang Muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih”
Syaikh Al Albani: “Jika seseorang bertanya kepada anda, apa madzhabmu, apakah ini yang akan anda katakan kepadanya?”
Penanya: “Ya”
Syaikh Al Albani: “Bagaimana pendapat anda jika kita menyingkat kalimat itu, karena kata-kata yang terbaik adalah kata-kata yang sedikit tetapi menggambarkan tujuan yang diinginkan, ‘Salafi?’.
Penanya: “Demikianlah seharusnya”
(Durus Syaikh Al-Albani [20/9], Maktabah Asy-Syamilah).
Dan sebagian ulama terdahulu pun secara tegas menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf dan menggunakan istilah “salafi”. Adz Dzahabi rahimahullah ketika sedang menyebutkan biografi Imam ad-Daruquthni beliau mengatakan:
وَصَحَّ عَنِ الدَّارَقُطْنِيِّ أَنَّهُ قَالَ: مَا شَيْءٌ أَبْغَضُ إِلَيَّ مِنْ عِلْمِ الكَلَامِ. قُلْتُ: لَمْ يَدْخُلِ الرَّجُلُ أَبَدًا فِي عِلْمِ الكَلَامِ وَلَا الجِدَالِ، وَلَا خَاضَ فِي ذَلِكَ، بَلْ كَانَ سَلَفِيًّا
“Telah sahih dari Ad-Daraquthni bahwa ia berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu kalam”. Aku (Adz-Dzahabi) berkata: “Ad- Daruquthni sama sekali tidak pernah terlibat dalam ilmu kalam maupun perdebatan dan tidak pernah membicarakan hal itu. Bahkan beliau adalah seorang SALAFI” (Siyar A’lamin Nubala, 16/450).
Demikian juga ketika menyebutkan biografi Ibnu Shalah:
كَانَ ذَا جَلاَلَةٍ عَجِيْبَةٍ، وَوقَارٍ وَهَيْبَةٍ، وَفَصَاحَةٍ، وَعلمٍ نَافِعٍ، وَكَانَ مَتينَ الدّيَانَةِ، سَلفِيَّ الجُمْلَةِ، صَحِيْحَ النِّحْلَةِ، كَافّاً عَنِ الخوضِ فِي مَزلاَّتِ الأَقدَامِ، مُؤْمِناً بِاللهِ، وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ مِنْ أَسمَائِهِ وَنُعوتهِ، حَسَنَ البِزَّةِ، وَافِرَ الحُرْمَةِ، مُعَظَّماً عِنْدَ السُّلْطَانِ
“Ia adalah seseorang yang memiliki kewibawaan yang menakjubkan, penuh ketenangan dan kharisma, fasih, serta memiliki ilmu yang bermanfaat. Ia kokoh dalam beragama, seorang SALAFI secara umum, lurus akidahnya, menahan diri dari membahas perkara-perkara yang rawan menggelincirkan, beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah berupa nama-nama dan sifat-Nya. Penampilannya baik, kehormatannya terjaga, dan ia sangat dihormati oleh penguasa” (Siyar A’lamin Nubala, 23/142).
Az-Zirikli ketika menyebutkan Ibnu Musyarraf :
أحمد بن علي بن حسين بن مشرف الوهيبي التميمي: فقيه مالكي، كثير النظم، سلفيّ العقيدة، من أهل الأحساء
“Ahmad bin Ali bin Husain bin Musyarraf al-Wuhaibi at-Tamimi. Ahli fikih madzhab Maliki. Banyak membuat nazhom. Akidahnya SALAFI. Termasuk penduduk Ahsa’” (Al-A’lam, 6/178).
Dan contoh-contoh yang lainnya.
Walau demikian, penisbatan diri kepada salaf tidak dimaksudkan untuk menciptakan suatu kelompok eksklusif. Manhaj salaf bukan nama sebuah organisasi atau sekte atau kelompok tertentu. Ahlussunnah menegaskan bahwa yang dinilai adalah kesesuaian seseorang dengan prinsip-prinsip akidah salaf dalam amalan, bukan sekadar pengakuan lisan sebagai orang salafi.
Oleh sebab itu, siapapun yang mengikuti manhaj salaf berhak disifati sebagai salafi secara makna, meskipun ia tidak mengklaim dirinya sebagai salafi. Dan siapapun yang menyelisihi prinsip-prinsip akidah Ahlussunnah tidak layak diberi label salafi, meskipun ia mengakuinya.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.
Fawaid Kangaswad | Support Ma’had Online: trakteer.com/kangaswad/gift





Leave a comment