Manusia sebagai makhluk sosial, yang hidup bermasyarakat tentunya dituntut untuk bisa berinteraksi dengan manusia yang lain dengan baik. Karena tentunya manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan membutuhkan orang lain dalam memenuhi hajat-hajat hidupnya. Untuk bisa melahirkan seorang manusia saja, seorang ibu butuh seorang suami. Saat lahir pun akan membutuhkan bantuan dari bidan atau dokter. Dan seterusnya sampai kita dewasa pasti akan membutuhkan peran orang lain dalam hidup kita. Maka, seorang manusia sejatinya harus bisa berinteraksi dengan manusia yang lain dengan baik. Membangun keakraban, membangun suasana kekeluargaan, menjalin persahabatan. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pun memerintahkan kita untuk menjadi orang yang suka bergaul di masyarakat dengan baik :
المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).
Dalam bergaul ditengah masyarakat, tentu tidak sembarangan. Agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, kita perlu membekali diri diri dengan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mencintai seorang yang berakhlak mulia, beliau bersabda:
إِنَّ أحبَّكُمْ إِلَيَّ أَقْرَبَكُمْ مِنِّي في الآخرةِ مَحاسِنُكُمْ أَخْلاقًا ، وإِنَّ أبغضَكُمْ إِلَيَّ وأَبْعَدَكُمْ مِنِّي في الآخرةِ الثَّرْثَارُونَ المُتَفَيْهِقُونَ المُتَشَدِّقُونَ قالوا يا رسولَ اللهِ قد عَلِمْنا الثَّرْثَارُونَ والمُتَشَدِّقُونَ فما المُتَفَيْهِقُونَ قال : المتكبرونَ
”Sesungguhnya diantara orang-orang yang aku cintai serta paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling bagus akhlaknya. Sesungguhnya yang paling aku benci diantara kalian dan paling jauh dariku pada hari kiamat, adalah tsartsarun (orang yang cerewet), mutasyaddiqun (orang yang bermulut besar), dan mutafaihiqun”. Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, kami sudah tahu apa itu tsartsarun dan mutasyaddiqun. Tapi apakah mutafaihiqun itu?’ Rasulullah menjawab, ”Orang-orang yang sombong”. (HR. at Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir)
Maka bergaul dengan baik, bercengkrama, menyenangkan hati orang-orang, berkata-kata yang baik, adalah bagian dari akhlak yang baik. Dan dalam bergaul dengan orang lain, kadang diperlukan bumbu-bumbu agar tidak membosankan, tidak kaku dan supaya mudah tercipta keakraban. Bumbu-bumbu tersebut kadang berupa senda gurau atau candaan. Bisa berupa plesetan, humor, tingkah yang lucu, sindiran dan segala macam bentuk canda yang bisa mencairkan suasana. Namun syariat memandang senda gurau?
Senda gurau, dalam bahasa arab disebut Al-Mizah . Dalam Al-Muhkam, Al-Mazhu adalah antonim dari kata jadd (serius). Adapun secara syariat, Az-Zubaidi berkata: ”Al-Mizah yaitu beramah-tamah kepada orang lain dengan cara yang halus tanpa menyakiti dengan mengeluarkan ejekan dan hinaan” .
Al-Mizah pada asalnya perkara mubah. Karena hukum asal muamalah adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya. Bahkan Rasulullah pun suka bercanda. Anas radhiallahu’anhu mengatakan,
أن رجلا استحمل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : إني حاملك على ولد ناقة، فقال : يا رسول الله! ما أصنع بولد النافة؟ فقال صلى الله عليه وسلم : وهل تلد الإبل إلا النوق
“Pernah ada seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah agar membawanya di atas kendaraan. Kemudian Rasulullah berkata: ”Aku akan membawamu di atas anak unta”. Orang tadi bingung karena ia hanya melihat seekor unta dewasa, bukan anak unta. Kemudian Rasulullah berkata: “Bukankan yang melahirkan anak unta itu anak unta juga?” (HR. Abu Dawud no.4998 dan Tirmidzi no.1991, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Begitu juga para sahabat –ridwanullahu’anhum ‘ajma’in– pun bercanda ria. Sebagai mana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Bakr bin Abdillah Al Muzanni rahimahullah ia berkata,
كانَ أصحابُهُ يتبادَحونَ بالبِطِّيخِ فإذا كانتِ الحقائقُ كانوا همُ الرِّجالَ
”Para sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah saling melempar buah semangka. Namun dalam keseriusan mereka adalah para lelaki sejati” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah).
Namun terkadang Al-Mizah dapat menjadi perkara yang tercela bahkan diharamkan.
Maka perlu diperhatikan senda gurau yang kita lakukan. Apakah termasuk yang dibolehkan atau malah termasuk candaan yang tercela? Adapun candaan yang dibolehkan ada 2 macam. Imam Al-Mawardi berkata: ”Seorang yang berakal dalam bersenda gurau memiliki dua tujuan tanpa tujuan ketiga:
1. Beramah tamah dengan teman dan bercengkrama dengan lawan bicara. Ini termasuk dalam hal yang disukai berupa perkataan dan perbuatan indah lagi baik
2. Menghilangkan apa yang hinggap pada dirinya (penat) dan kesusahan yang dialaminya.”
Kemudian dalam bercanda perlu diperhatikan beberapa adab. Karena seringkali dalam kenyataannya, banyak sekali candaan-candaan yang melewati batas dan tidak sesuai dengan akhlak Islami yang hanif. Seringkali candaan mengandung unsur kebohongan, mengolok-olok ajaran agama, menyakiti perasaan teman, tertawa berlebihan dan kebatilan-kebatilan lain. Seringkali candaan jadi apologi seseorang untuk berbuat buruk. Misalnya ia mencela seseorang kemudian ketika orang tersebut tersinggung, pencela tadi berdalih “Saya khan cuma bercanda”. Sungguh ini sebuah kezhaliman. Padahal Rasulullah sendiri dalam bercanda pun tetap tidak keluar dari batasan-batasan akhlak Islami
1. Hendaknya percandaan tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah Rasul-Nya atau syi’ar-syi’ar Islam.
Di zaman Rasulullah pernah ada beberapa orang dari kaum Muslimin yang bercanda dengan mengatakan ”Tidak ada orang yang lebih penakut dan berperut buncit daripada para penghafal Qur’an itu (Rasulullah dan para sahabat)”. Kemudian salah seorang sahabat yang mendengarkan hal tersebut kemudian melaporkan kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat:
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ وَرَسُوْلِهٖ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ ۗ اِنْ نَّعْفُ عَنْ طَاۤىِٕفَةٍ مِّنْكُمْ نُعَذِّبْ طَاۤىِٕفَةً ۢ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا مُجْرِمِيْنَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman”. (QS. At-Taubah: 65-66).
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pun tidak memaafkan mereka walau mereka berdalih hanya bercanda saja. Karena ajaran agama ini adalah ajaran yang suci yang turun dari Allah, sekecil apapun itu. Maka barang siapa menghina ajaran ini, sama saja dengan menghina Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Misalnya orang yg menghina seseorang yang memanjangkan jenggotnya karena mengikuti sunnah dengan berkata “Jenggotmu panjang sekali, mirip embek (kambing)”. Maka sama saja ia mencela orang yang telah mencontohkan hal tersebut, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Dan para ulama sepakat bahwa orang yang dengan sengaja mencela Allah, Rasulullah, para sahabat atau bagian syariat Islam dihukumi kafir. Hal-hal lain yang sering dicela dalam candaan di masyarakat misalnya:
• Akhwat yang memakai cadar dicela dengan perkataan “ninja”, “istri teroris”, dan semacamnya.
• Hadist “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali pihak yang ketiga adalah syaithan” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Albani dalam Shahihul Jami’) seringkali dilecehkan. Bila ada seorang laki-laki berduaan dengan wanita non-mahrom kemudian datang.temannya, maka mereka pun mengusir temannya karena dianggap syaithan yang datang mengganggu aktifitas khalwat mereka. Sungguh ini candaan yang bathil.
• Ikhwan yang meninggikan pakaiannya di atas mata kaki dicela dengan perkataan ”kebanjiran”, ”kurang bahan”, ”culun”, dan semacamnya. Padahal telah jelas sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam: ”Kain yang dibawah mata kaki maka tempatnya dineraka” (HR. Bukhari, Nasa’i)
• Ucapan salam “Assalamu’alaikum” yang sering dibuat-buat supaya terdengar lucu oleh para pelawak dan komedian.
• Dll
2. Hendaknya percandaan itu tidak mengandung dusta.
Hendaknya dalam bercanda tidak mengada-ada cerita-cerita khayalan atau sengaja berbohong supaya orang lain tertawa. Perhatikanlah saat Abu Hurairah memuji Rasulullah , ia berkata,
يا رسولَ اللهِ، إنك تُداعِبُنا ! قال: إني لا أقولُ إلا حقًّا
“Ya Rasulullah, sungguh engkau sering bergurau dengan kami”. Kemudian Rasulullah berkata “Tapi, sungguh aku tidak mengatakan kecuali kebenaran”. (HR Tirmidzi, Hadist hasan).
Karena pada asalnya berdusta itu dilarang, sekalipun dalam bercanda. Bahkan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mencela orang yang sengaja berbohong hanya sekedar untuk melucu atau membuat orang lain tertawa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ويلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بالحدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِالقوْمَ فيَكَذِبُ ويلٌ لَهُ ويلٌ لَهُ
“Celakalah bagi orang yang berkata-kata, dan untuk membuat orang-orang tertawa ia membuat kedustaan. Celaka baginya, celaka baginya” (HR. Abu Daud no. 4990, Tirmidzi no. 2315, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Tidaklah beliau mengatakan ”Celakalah” sampai tiga kali kecuali hal itu sangat dibenci dan dilarang.
3. Hendaknya percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia.
Mencela atau menyakiti perasaan tidak dihalalkan diantara sesama mukmin. Hendaknya setiap orang menjaga perasaan saudaranya dalam setiap keadaan, baik bercanda ataupun bukan. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat : 11).
Misalnya orang sedang berjalan kemudian berkata “Hei, yang bertampang jelek minggir dulu” atau “Hei hitam, kalau malam jangan keluar rumah, nanti tidak terlihat”. Sekalipun hanya dalam candaan, celaan tetap akan menyakiti hati dan berbekas dihati. Karena perkara hati adalah perkara ghoib, tidaklah salah seorang dari kita mengetahui isi hati orang lain. Bis jadi kita saat kita mencandainya kita menganggapnya tidak tersinggung, namun sebenarnya ia sangat tersinggung.
Dari Yazid bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ لَاعِبًا أَوْ جَادًّا، فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْه
“Janganlah salah seorang dari kalian mengambil tongkat saudaranya baik karena bercanda ataupun sungguhan. Siapa yang mengambil tongkat saudaranya, maka ia harus mengembalikannya.” (HR. at-Tirmidzi no.2160, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)
4. Dalam bercanda harus pilih-pilih
Tidak semua orang suka dibercandai dan bercanda bisa saja menimbulkan mudharat (keburukan) bila dilakukan dengan orang-orang tertentu, misalnya bercanda dengan wanita yang bukan mahrom. Bercanda berlebihan dengan wanita yang bukan mahrom akan menimbulkan fitnah yang besar. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ
“Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) terhadap wanita” (HR. Al Bukhari 5096, Muslim 2740).
Begitu pula bercanda kepada orang yang lebih tua, tentunya sikap yang utama adalah santun dan berlemah lembut. Adapun bila ingin bercanda perlu disesuaikan jenis candaannya agar tidak mengurangi rasa hormat kita. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: ”Bercanda tidak boleh dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang tidak bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan yang bukan mahrammu” .
5. Tidak bergaya menyerupai wanita (atau laki-laki).
Seringkali kita temukan, untuk membuat orang tertawa, seorang laki-laki bergaya seperti wanita. Seperti dilakukan oleh banyak komedian dan pelawak di televisi. Baik pakaian, cara berjalan, atau cara bicaranya. Padahal syariat ini telah melarang kaumlaki-laki dari ummatnya menyerupai wanita, atau sebaliknya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Ia berkata,
لعَن رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المُتَشَبِّهينَ من الرجالِ بالنساءِ، والمُتَشَبِّهاتِ من النساءِ بالرجالِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al Bukhari no. 5885).
Maka sungguh lancang sekali orang yang melakukan perbuatan yang dilarang syariat hanya sekedar untuk membuat orang tertawa, atau bahkan hanya sekedar mencari keuntungan dunia darinya. Sungguh aneh memang, jika saat zaman dahulu di negeri kita ini banci atau bencong menjadi hal yang tabu, namun di masa ini malah menjadi hal yang biasa saja dan malah menjadi bahan candaan. Padahal hal tersebut dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
6. Tidak sering-sering bercanda
Syaikh Badruddin Al-Ghazzi berkata: ”Terdapat banyak riwayat yang mencela dan memuji senda gurau. Kami (para ulama) menerapkan riwayat yang mencela senda gurau yang sering dilakukan sehingga menjadi kebiasaan. Sesungguhnya hal ini mengeluarkan pelakunya dari kebenaran menuju permusuhan dan keburukan” .
Maka bersenda gurau atau bercanda bisa jadi tercela bila dilakukan secara berlebihan dan terlalu sering. Bahkan hal ini dapat mematikan hati dan menjatuhkan wibawa. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam:
لاَ تُكثروا الضَّحِكَ ، فإنَّ كثرةَ الضَّحِكِ تميتُ القلبَ
“jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati” (HR. Ibnu Maajah 3400, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/32).
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، واللَّهِ لو تَعْلَمُونَ ما أعْلَمُ لَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا ولَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا
“Wahai umat Muhammad, demi Allah, andaikan kalian mengetahui apa yang aku tau, sungguh kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa” (HR. Bukhari no.6631, Muslim no.901)
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz berkata: ”Sesungguhnya banyak bercanda dapat menjatuhkan wibawa, menjauhkan diri dari hikmah, menimbulkan kedengkian, mengeraskan hati dan membuat banyak tertawa yang melalaikan diri dari mengingat Allah”. Bagaimana tidak mengeraskan hati, banyak kita dapati orang yang hobi bercanda sulit sekali menerima nasehat. Setiap kali dinasehati dengan serius, akan ditanggapi dengan candaan, dan nasehat pun tidak merasuk ke hatinya. Wal’iyyadzubillah.
7. Tidak mencandai perkataan serius dan sebaliknya.
Syaikh Dr. Shalih Sindi mengatakan: “Jangan anda mencampurkan keseriusan dengan candaan, juga jangan mencampurkan candaan dengan keseriusan. Karena jika anda lakukan hal itu, anda membuat sesuatu yang serius tersebut menjadi remeh dan membuat candaan menjadi menyedihkan” (Al Adaab ‘Unwanus Sa’adah, hal.19).
Misalnya, orang yang menyampaikan ilmu syar’i maka wajib ditanggapi dengan adab. Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan:
بالأدب تفهم العلم
“Dengan adab, engkau akan memahami ilmu” (Iqtidhaul Ilmi Al ‘Amal [31], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah (guru Imam Ahmad bin Hambal), menyikapi orang yang tertawa di majlisnya:
ضَحِكَ رَجُلٌ فِي مَجْلِسِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ ، فَقَالَ : مَنْ ضَحِكَ ؟ فَأَشَارُوا إِلَى رَجُلٍ ، فَقَالَ : تَطْلُبُ الْعِلْمَ وَأَنْتَ تَضْحَكُ ، لا حَدَّثْتُكُمْ شَهْرًا
“Suatu ketika ada seorang yang tertawa di majlis Abdurrahman bin Mahdi. Maka ia berkata: siapa itu yang tertawa? Lalu orang-orang menunjuk pada orang yang tertawa. Abdurrahman bin Mahdi berkata: ‘Engkau menuntut ilmu sambil ketawa-ketawa? Saya tidak akan bicara padamu selama sebulan’” (Al Jami’ Fi Adabi Rawi, 329).
Seorang muslim hendaknya memperhatikan setiap amalannya, termasuk candaannya. Dan tidaklah ia melakukan sesuatu melainkan itu sebuah kebaikan. Karena setiap yang dilakukan baik dalam perbuatan dan perkataan akan dimintai pertanggungjawabannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36).
Maka hanya ada dua pilihan untuk orang yang biasa bercanda, yaitu hendaknya candaan yang dilakukannya itu baik, tidak termasuk candaan yang tercela, atau bila tidak bisa bercanda yang baik, diamlah. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
”Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semoga kita termasuk hamba-Nya yang senantiasa menjaga lisan-lisan kita dari keburukan hawa nafsu. Amin ya mujibas saailin.
***
Maraji’:
1. Al-Mizah fis Sunnah, DR. Muhammad Abdullah Walad Karim
2. Qismul ’Ilmi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, penerbit Dar Al-Wathan
3. Keselamatan Lisan Dengan Menjaga Lisan, Ustadz farid Gasim Anuz, penerbit Pustaka Inabah
4. Adaab Islamiyyah, Syaikh Abdul Hamid bin Abdirrahman As-Suhaibani, penerbit Daar Ibni Khuzaimah
5. At Tabarruj Wakhturuhu, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, penerbit Daar Al Imam Ahmad





Leave a reply to Nabila Cancel reply