Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أبردوا بالطعامِ فإن الحارَّ لا بركةَ فيه
“Tunggulah makanan sampai dingin, karena makanan panas tidak ada keberkahan di dalamnya” (HR. Al Hakim, dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui Adz Dzahabi. Didhaifkan oleh sebagian ulama).
Dalam hadits ini terdapat perintah untuk menunggu makanan panas agar suhunya lebih dingin. Karena tentu makanan atau minuman yang masih panas akan berbahaya jika dimakan. Al Munawi rahimahullah mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini sifatnya anjuran, tidak sampai wajib. Dan memakan makanan atau meminum minuman yang panas hukumnya makruh, tidak sampai haram.
Di sisi lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai minuman yang dingin. Dari Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
كان أحبُّ الشرابِ إلى رسول الله صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : الحلوَ الباردَ
“Minuman yang paling disukai oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah yang manis dan dingin” (HR. At Tirmidzi no.1895, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Walaupun demikian, tidak boleh meniup makanan atau minuman yang masih panas. Karena terdapat larangan akan hal ini.
Dari Abu Qatadah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا شَرِبَ أحَدُكُمْ فلا يَتَنَفَّسْ في الإنَاءِ
“Kalau kalian minum maka jangan bernafas di dalam bejananya” (HR. Bukhari no. 149, Muslim no. 3780).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata:
نهى أن يتنفس في الإناء أو ينفخ فيه
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang bernafas di dalam bejana atau meniupnya” (HR. Tirmidzi no. 1810, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.6820).
Dalam hadits kedua ini hanya disebutkan larangan meniup al ina-u (bejana) tanpa disebutkan tentang minum. Maka larangan ini mencakup makanan juga. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan:
والإناء يشمل إناء الطعام والشراب، فلا ينفخ في الإناء ليذهب ما في الماء من قذارة ونحوها
“al ina-u (bejana) mencakup bejana untuk makanan juga minuman. Maka tidak boleh juga meniup makanan untuk menghilangkan kotoran di kuahnya atau semisalnya” (Nailul Authar, 8/221).
Hikmah dari larangan ini:
- Mengajarkan sabar. Al Munawi rahimahullah mengatakan:
والنفخ في الطعام الحار يدل على العجلة الدالة على الشَّرَه وعدم الصبر وقلة المروءة
“Meniup makanan yang panas menunjukkan sikap terburu-buru dan menunjukkan akhlak yang buruk dan ketidak-sabaran serta kurangnya wibawa” (Faidhul Qadir, 6/346)
- Agar lebih bersih, tidak terkena kotoran dari mulut. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan:
فإنه لا يخلو النفخ غالباً من بزاق يستقذر منه
“Karena tiupan dari mulut itu umumnya mengandung ludah yang bisa mengotori makanan atau minuman” (Nailul Authar, 8/221).
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
وهذا النهي للتأدب لإرادة المبالغة في النظافة ، إذ قد يخرج مع النَّفَس بصاق أو مخاط أو بخار ردئ فيكسبه رائحة كريهة فيتقذر بها هو أو غيره من شربه
“Larangan ini dalam rangka mengajarkan adab agar tercapai kebersihan yang sempurna. Karena bersamaan dengan tiupan terkadang ada ludah, lendir atau uap kotor yang menyebabkan bau, sehingga bisa mengotorinya (makanan/minuman) atau mengotori yang lainnya” (Fathul Baari, 1/205).
- Agar lebih berkah. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan:
لا ينفخ في الإناء لتبريد الطعام الحار ، بل يصبر إلى أن يبرد ، ولا يأكله حاراً ، فإن البركة تذهب منه ، وهو شراب أهل النار
“Jangan meniup di bejana untuk mendinginkannya makanan panas. Namun hendaknya bersabar sampai dingin. Jangan dimakan ketika masih panas. Karena berkahnya akan hilang, dan minuman panas adalan minuman penduduk neraka” (Nailul Authar, 8/221).
Dibolehkan pakai cara lain untuk mendinginkan selain ditiup. Seperti yang diajarkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah:
لو كان الشراب حاراً ويحتاج إلى السرعة ، فرخص في هذا بعض العلماء، ولكن الأولى أن لا ينفخ حتى لو كان حاراً؛ إذا كان حاراً وعنده إناء آخر فإنه يصبه في الإناء ثم يعيده ثانية حتى يبرد
“Jika minuman panas dan butuh untuk segera diminum, sebagian ulama memberikan keringanan (untuk meniup). Namun yang utama hendaknya tidak ditiup walaupun panas. Jika ia punya bejana yang lain, maka tuangkan ke bejana tersebut kemudian kembalikan lagi ke bejana awal, terus hingga dingin” (Syarah Riyadhis Shalihin, hadits no. 766).
Wallahu a’lam.






Leave a reply to cahbalapan Cancel reply