Penulis: Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).

Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi.2 Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.

Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.

Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.3

Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit kronis, padahal biayanya relatif murah.4

Hukum Asal Imunisasi
Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir”(HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).

Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.5 Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.6

Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)
Setelah sekelumit informasi tantang imunisasi di atas, sekarang kita masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya ? Dan bagaimanakah status hukumnya?

A.Gambaran Permasalahan
Berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423 / 8 Oktober 2002; dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1.Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).

2.Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.

3.Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).

4.Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.

5.Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.

6.Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas. 7

B.Jembatan Menuju Jawaban
Untuk sampai kepada status hukum imunisasi model di atas, kami memandang penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil suatu kesimpulan hukum.5

1.Masalah Istihalah
Maksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.9

Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :

a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khamr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.

Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhahiriyyah[10], salah satu pendapat dalah madzhab Malik dan Ahmad[11]. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah[12], Inul Qoyyim, asy-Syaukani[13], dan lain-lain.[14]

Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”[15]

2.Masalah Istihlak
Maksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.

Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut :
Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)

Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).

Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”[16]

Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khamr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”[17]

3.Darurat dalam Obat
Dharurah (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:

Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang

Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.

Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”[20]

4.Kemudahan Saat Kesempitan
Sesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.[20]

Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata :
Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”[21]

5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :

a.Berobat dengan khamr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil :
Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)
Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khamr dijadikan sebagai obat.22

b.Berobat dengan benda haram selain khamr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :

Pertama : Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.23 Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah : “… Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya….” (QS. Al- An’am [6]:119)

Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.

Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.24 Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)

Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.

Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.25

6.Fatwa-fatwa
Dalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan dua fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :

a.Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :

1)Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.

2)Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.26

b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :

1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.27

C.Kesimpulan dan Penutup
Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.

Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.

Daftar Referensi
1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.
2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.
3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H
4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
5.dan lain-lain

Catatan Kaki :
1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-8
2.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.
3.Sumber: medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.
4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22
5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)
6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/26
7.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 369
8.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.
9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/210
10.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/422
11.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/503
12.Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah hlm. 23
13.Sailul-Jarror: 1/52
14.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.
15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/394
16.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.256
17.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/173
18.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 84
19.Qowa’idul-Ahkam hlm. 141
20.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/231
21.Qowa’idul-Ahkam hlm. 60
22.Syarh Shahih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/205
23.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/426
24.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/605
25.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187.
26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.
27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.

[Sumber : Majalah Al Forqan, Edisi 05 Th. ke – 8 1429 H/2008 M, oleh : Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi]

Artikel ini diambil dari http://azwariskandar.blogspot.com/2009/11/hukum-imunisasi-kontroversi-imunisasi.html

Umroh Keluarga Bahagia Di Awal Ramadhan Bersama Ustadz Yulian Purnama

Program “Umroh Keluarga Bahagia” adalah program umroh yang dirancang untuk jamaah yang berumrah bersama keluarga beserta anak-anaknya. Kami siapkan acara-acara menarik selama perjalanan di tanah suci.Hotel sangat dekat dengan Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, free kereta cepat Madinah-Makkah, bersama Batik Travel di bulan Februari 2026. Dibimbing oleh Ustadz Yulian Purnama –hafizhahullah

Paket 9 Hari, berangkat: 16 Februari 2026

📲 Tanya-tanya dulu juga boleh! 

16 responses to “Imunisasi Dengan Vaksin Dari Enzim Babi”

  1. Subhanallah benar2 bermanfaat ustadz artikelnya.
    Selama ini saya tidak pernah mengimunisasi anak2 saya dan Alhamdulillah sehat. Alasannya krn ada unsur haram dan saya sangat tidak mempercayai dunia kedokteran soal kehalalan produk. Ada sekitar 40 % cangkang kapsul yg beredar terbuat dari lemak babi, dan dokter umumnya bersikap masa bodoh. Seandainya ada label halal di kemasan obat sungguh sangat membantu. Dan alasan terakhir tidak imunisasi adalah sebenarnya nabi sudah memberitahukan imunisasi terbaik,dan dunia kedokteran mengakui hal itu, imunisasi terbaik bagi bayi adalah ASI. Dan bagi kita sehari2 madu juga merupakan imunisasi krn tidak ada satupun bakteri dan virus dpt hidup dlm madu. Jadi mau ikut contoh nabi atau kedokteran barat?Meskipun keduanya boleh tapi sbg umatnya seharusnya kita mencontohnya, tidak hanya ibadah tapi dalam segala hal.

    1. 1. Pelabelan halal haram adalah tugas MUI, bukan tugas dokter.

      2. Antibodi yg diturunkan dari ASI akan dipecah dan dibuang oleh tubuh dalam waktu tertentu tergantung jenis antibodinya. Itu salah satu sebab pemberian vaksin dilakukan tidak pada waktu bersamaan.

      Contoh : antibodi campak yg diperoleh dari ibu akan mulai menurun ketika bayi berusia 6 bulan dan habis pada usia 9 bulan. itu sebabnya vaksinasi campak dianjurkan utk diberikan pada usia 9 bulan. sebagaimana antibodi yg diturunkan melalui ASI, antibodi thd penyakit2 tertentu yg diberikan melalui vaksinasi juga bisa habis, itu sebabnya dianjurkan utk memberikan “booster”.

      3. Dalam madu ditemukan kuman botulinum yg bisa menyebabkan diare berat pada anak usia di bawah 1 thn dan ditemukan kasus2 bayi2 meninggal akibat infestasi kuman ini. Itu sebabnya tidak dianjurkan memberikan madu pada anak di bawah usia 1 thn.

  2. ulasannya cukup lengkap.
    semoga Allah menambahkan hikmah dan ilmu pengetahuan kepada kita semua. amin…..

  3. Jazaakallah atas link-nya.

    Kami pribadi saat ini memilih untuk tidak melanjutkan imunisasi untuk anak kedua kami.

    Pertama alasan bahwa katalisator yang digunakan secara jelas dari bahan haram (tripsin babi) atau bahan-bahan kimia berbahaya (merkuri).

    Kedua, masalah darurat. Dari dalil di atas dikatakan bahwa bila darurat maka boleh. Kami memandang bahwa kondisi di tempat tinggal kami tidak termasuk dalam endemik penyakit yang berbahaya, sehingga vaksinasi bukan sesuatu yang wajib dilakukan (bukan hal darurat). Berbeda dengan kondisi seperti yang saya lihat di televisi (acara Redaksi Sore beberapa hari lalu), di mana kondisi sekeluarga lumpuh layuh, maka tetangga sekitar wajib diimunisasi polio untuk mencegahnya.

    Allahu A’lam.

    1. #Ummu Syifa
      Untuk alasan pertama, tolong dipahami kembali tentang isthlak dan istihalah.
      Untuk alasan kedua, darurat dalam istilah syar’i berbeda dengan istilah bahasa Indonesia. Darurat dalam masalah ini, sebagaimana dijelaskan diatas, adalah jika terpenuhi kriteria:
      1) Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
      2) Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
      3) Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
      Dan setidaknya MUI pun memandang ini termasuk perkara darurat.

    2. Kondisi darurat dalam hal sebaran penyakit bukan hanya seperti yg anda sebutkan. Kedaruratan dalam epidemiologi juga termasuk kondisi2 dimana terjadi wabah dan dikhawatirkan wabah akan meluas.

      Perlu diketahui bahwa penyakit2 yg vaksinnya tersedia adalah penyakit2 yg ditularkan melalui percikan bibit penyakit di udara dan tidak ada satu pun manusia yg bisa mengendalikan ke mana udara bergerak. Penyebaran penyakit dg cara spt ini bisa bertahan sampai bertahun-tahun meskipun sumber penularan (si penderita) sendiri sudah sembuh atau meninggal. Oleh sebab itu penyakit2 ini digolongkan ke dalam kondisi darurat.

  4. Aprodhita Kusumaningtyas Avatar
    Aprodhita Kusumaningtyas

    ‘afwan saya mau bertanya,,,bagaimana dengan vaksin TT yg diberikan sebelum menikah yg diwajibkan oleh pemerintah?

    1. Afwan, tidak ada vaksin wajib di Indonesia. Semua vaksin adalah pilihan.

  5. Maaf, sebenarnya saya tidak setuju dengan kata “obat”. Vaksin itu bukanlah obat, dan dengan vaksin juga tidak menjamin bahwa seseorang tidak akan terkena penyakit tersebut. Sebagai contoh adalah anak saya sendiri, setelah diimunisasi campak, beberapa waktu setelahnya juga terkena campak.

    Kami masih kepada pendapat kami pribadi, dan juga sependapat dengan dany pada komentar di atas. Kalau Rasulullah saja sudah memberikan “vaksin” alami berupa madu, atau habbatussauda, kenapa kita tidak menggunakannya? Kami lebih memilih untuk mengikutinya dan menghindari hal-hal yang kami benar-benar tidak memiliki pengetahuan tentangnya (masalah kejelasan kehalalan ingredient pada vaksin). Allahu A’lam.

    1. Diistilahkan obat atau vaksin tetap tidak mengubah hukum asalnya yaitu boleh. Apa yang anda paparkan itu termasuk apa yang dikatakan para ulama ‘mempersulit yang mudah, menyempitkan yang luas’, dan hal ini tercela. Maksud saya, imunisasi dengan tahnik serta thibbun nabawi bukanlah hal yang bertentangan, sehingga jangan dipertentangkan. Karena semua itu hukumnya boleh, maka boleh juga dilakukan semua. Ditahnik iya, diberi madu iya, diimunisasi iya, diberi sari kurma iya, dan thibbun nabawi lainnya.

      Saya melihat banyak orang yang anti imunisasi mempertentangkan imunisasi dengan thibbun nabawi, seolah-olah mengesankan orang yang imunisasi itu tidak suka thibbun nabawi, ini su’uzhan namanya. Dan perlu diingat, thibbun nabawi itu hukumnya juga MUBAH, bukan sunnah atau wajib. Seseorang boleh pakai thibbun nabawi, boleh juga tidak, dan ia tidak berdosa dan tidak tercela. Jangan menjadikan perkara ini menjadi perkara ibadah.

      Yang tercela adalah, orang yang tidak mengimani dan tidak mempercayai keutamaan thibbun nabawi. Misalnya tidak percaya, bahwa air zam-zam itu khasiatnya sesuai hajat peminumnya. Tidak percaya bahwa madu itu syifaa-un linnaas. Tidak percaya bahwa habbatus sauda adalah obat segala penyakit. Dan lainnya. Karena dalil-dalil akan hal itu shahih.

      Jika anak anda kena campak setelah imunisasi campak, innalillah, Allahu ya’fiiha. Namun ada ribuan bahkan jutaan anak di sana yang tidak kena campak setelah imunisasi campak. Mungkin anda perlu baca artikel ini:
      http://lita.inirumahku.com/health/lita/ajakan-menolak-imunisasi

    2. Ma’af, vaksin memang bukan obat. Obat adalah salah satu upaya kuratif, penyembuhan. Vaksin adalah salah satu upaya preventif, pencegahan.

      Vaksin adalah pencegahan komplikasi berat suatu penyakit dg mekanisme pengenalan tubuh thd komponen virus atau bakteri shg ketika virus atau bakteri utuh menginfeksi, tubuh sudah mengenalinya dan bisa mengatasi. Jadi seseorang yg diimunisasi bisa terinfeksi tetapi ~ dengan ijin Allah ~ terlindungi dari komplikasi berat.

      Perlu diketahui bahwa penderita campak yg menularkan penyakit tsb ke ibu hamil, sangat berisiko menyebabkan cacat permanen pada bayi yg dikandung. Ini masih terjadi dan ada di Indonesia.

      1. untuk Ibu/Mba Jasmine,
        ada yang mengatakan imunisasi pun katanya masih terjadi pro kontra dikalangan kedokteran, dan ad jg yg berpendapat mitos kesehatan? Mohon tanggapan ibu/mba dalam hal ini. jazakillah.

  6. Terima kasih banyak. Saya sudah dua kali membaca email yang dimaksud dalam artikel tersebut dan dua kali pula saya membaca blog Bu Lita. Yang kedua kali ini lebih saya cermati. Memang benar-benar mencerahkan. Tapi pilihan untuk imunisasi atau tidak, tetap ada pada masing-masing pribadi kan?

    Thanks for sharing :)

    1. Tentu saja, saya katakan imunisasi itu hukumnya BOLEH, artinya boleh imunisasi dan boleh juga tidak. Terima kasih juga atas saran dan kritiknya, hadaanallahu waiyyaakum.

  7. Rini Purwanti Avatar
    Rini Purwanti

    ijin sharing ya

  8. kang izin copas ya,,syukron

Leave a reply to Jasmine Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Fawaid Kangaswad adalah platform dakwah sunnah melalui website fawaidkangaswad.id dan beberapa kanal di media sosial seperti whatsapp, telegram, instagram dan twitter.

Fawaid Kangaswad juga mengelola Ma’had Fawaid Kangaswad, yaitu program belajar Islam berbasis kitab kuning karya para ulama Ahlussunnah, melalui media grup Whatsapp.

Fawaid Kangaswad juga menyebarkan buku-buku serta e-book bermanfaat secara gratis.

Dukung operasional kami melalui:

https://trakteer.id/kangaswad
(transfer bank, QRIS, OVO, Gopay, ShopeePay, Dana, LinkAja, dll)

Atau melalui:

Bank Mandiri 1370023156371 a/n Yulian Purnama

Semoga menjadi pahala jariyah.

Trending